1. Bertemu Calon Suami

56 7 0
                                    

Seorang gadis dengan rambut yang sudah ditata rapi itu menggelengkan kepalanya membuat si perias sedikit kesusahan saat hendak menempelkan bulu mata. Bukan perias yang benar-benar untuk acara besar, tetapi ini adalah kembarannya yang menyebalkan.

Menurut si gadis, tidak ada hal paling ia benci selain diatur-atur oleh kedua manusia yang disebut dengan keluarga.

"Sakura, tolong turuti kata adik kamu. Kalau kamu tidak pakai bulu mata, bagaimana Pak Thien mau melirikmu, hm? Sudahlah, dandan untuk hari ini saja secantik-cantiknya," ucap sang mama, membuat gadis yang disapa Sakura itu memutar bola matanya malas.

Tanpa izin, Sakura beranjak dari duduknya dan menatap ibunya--Enami Ume--dan sang adik kembar--Enami Momo--dengan sinis.

"Sakura rasa, make up Momo terlalu mencolok di wajah Sakura, Ma. Sakura tidak suka," seru Sakura.

"Tapi itu paling cocok untuk pertemuan pertama, Ra," balas Momo dengan tampang datar tetapi sedikit dibuat memprihatinkan supaya mamanya membela dirinya.

"Turuti apa kata Momo. Berani kamu melawan Mama, Sakura?"

Sakura menghela napas melihat tatapan tajam dari sang mama. Alhasil, Sakura duduk kembali dan Momo pun kembali merias kakak kembarnya ini dengan penuh kesabaran. Jangan sampai membuat mereka semua malu, karena seseorang yang ingin dikenalkan adalah orang penting.

Perjodohan ini harus dilaksanakan dengan lancar, supaya Ume bisa membayar lunas utang-utangnya. Lebih tepatnya utang mendiang suaminya yang mana sudah berwasiat, jika mereka tidak bisa membayarnya, maka salah satu anak mereka harus dinikahi oleh si pemberi pinjaman.

Tidak lama, Momo selesai merias Sakura walau sepanjang make up suara decakan selalu terdengar. Tersenyum puas melihat hasilnya, Momo berkata, "Tuh, kan. Kamu tuh cantik kalau didandani begini, Ra. Pasti Pak Thien akan klepek-klepek ke kamu."

"Ck, iya deh. Terserah. Pak Thien sudah datang memangnya?" tanya Sakura. Gadis itu ingin pertemuan ini cepat diselesaikan, supaya dia bisa mencari strategi untuk membatalkan perjodohannya.

Menikah dengan seorang pria tua yang sudah beristri di mana ia akan dijadikan istri kedua, yang benar saja? Siapa yang dengan ikhlas merelakan keperawanannya untuk itu?

Bertahun-tahun Sakura menjaga kesuciannya, tetapi ia harus berjodoh dengan pria beristri. Walau pria yang akan dijodohkan ini pengusaha kaya di industri pertambangan, tetap saja bukan tipe Sakura.

"Pak Thien sudah menunggu sejak tadi. Mari kita ke sana! Pasti Pak Thien sangat menyukaimu, Ra," ucap Ume, menarik tangan Sakura untuk ia peluk lengannya.

Lalu, berjalan keluar dari kamar gadis itu menuju ruang tamu yang mana sudah ada Thien Althanio, pria berusia 57 tahun yang duduk di sofa ruang tamu.

Sakura berjalan ogah-ogahan di sebelah mamanya yang setia menarik gadis itu, hingga tubuhnya dipaksa duduk di sebelah Thien. Pria tua yang menurut Sakura lumayan ganteng itu tersenyum ke arahnya, tetapi tetap saja gadis tersebut merasa geli jika ditatap sedekat ini.

Terlebih, Thien mulai mengulurkan tangan ke arah Sakura.

"Mungkin saya perkenalan diri dulu kali, ya? Saya Thien Althanio. Panggil saja Thien."

Dengan malas, Sakura membalas uluran itu. Itu pun karena Ume memelototinya, membuat Sakura harus membalas uluran tersebut. "Enami Sakura, panggil saja Ara."

"Kalau dipanggil sayang, boleh?"

Cepat-cepat Sakura menarik tangannya, merinding mendengar pertanyaan yang ditanggapi gelak tawa oleh Ume dan Momo.

"Hahaha. Pak Thien bisa saja," sahut Ume.

Sakura memberengut. Bisa-bisanya Ume setenang itu melihat Sakura diperlakukan begini oleh pria tua? Ah, ingin rasanya Sakura melarikan diri dan berteriak dengan sumpah serapah kepada dua perempuan tidak tahu diri itu.

Siapa lagi jika bukan Ume dan Momo?

"Oh, iya. Sebelumnya saya minta maaf atas ketidakhadirannya istri saya. Dia tidak bisa datang, padahal ingin melihat Sakura katanya," ucap Thien dengan kekehan pelan, merasa tidak enak dengan Ume.

Ume mengangguk paham. "Tidak masalah, Pak Thien. Saya memakluminya, pasti Bu Mayleen syok harus melihat calon istri kedua Bapak dan pastinya merasa sakit hati. Terpenting Bapak sudah bertemu dengan Sakura. Bagaimana? Cantik tidak?"

"Ah, cantik sekali. Seperti mamanya."

Ume tertawa kecil. "Pak Thien bisa saja. Silakan dimakan kue-kuenya, Pak. Maaf, hanya bisa menyuguhi camilan seadanya saja."

Ume sibuk menyodorkan makanan yang ada di meja, sedangkan Sakura merasa panas memakai dress tanpa lengan ini. Bukan panas karena hawanya, tetapi karena hatinya yang terus membara. Bisakah dirinya membatalkan perjodohan ini? Ia tidak mau menjadi istri kedua untuk pria tua ini.

Melihat interaksi antara Ume dan Thien, Sakura berdecak dalam hati, Aish, kenapa tidak Mama saja yang menjadi istri kedua Pak Thien? Kenapa harus aku? Padahal Mama juga janda. Persetan dengan wasiat Papa, aku benci di posisi ini, Tuhan.

"Ara! Hei! Kok, melamun?" seru Thien dengan menepuk pelan bahu Sakura. "Sedang memikirkan masa depan kita, ya?"

Erlingan nakal dari Thien membuat Sakura semakin mual dan ingin cepat-cepat pergi.

"Ah, tidak. Sedang memikirkan cara supaya Bapak membenci saya."

Asal cetus.

"Sakura ..." tegur Ume.

"Tidak apa-apa, Bu Ume. Emm, saya boleh minta izin?"

"Minta izin apa, Pak Thien?" tanya Ume melihat tatapan serius dari Thien.

Lancang, Thien merangkul bahu Sakura dan mengelus bahu mulus tersebut. "Saya ada niatan mengajak Sakura untuk dinner malam minggu ini. Boleh?"

Ume terlihat senang bukan main. "Kalau itu tidak perlu izin, Pak Thien. Silakan. Silakan dinner dengan anak saya."

Sialan. Aku? Dinner dengan pria tua? Yang benar saja. Aaaaaaaaa, batin Sakura berteriak marah.

[Bersambung]

Restart LoveWhere stories live. Discover now