Aroma minyak tawon terkuak semakin jelas seiring Garvi mengusap punggung jemarinya yang membiru, mengingatkan kenangan masa lalunya yang kelam. Setiap jempol kirinya membelai, rasa ngilu hadir dan pergi, sesekali berdenyut menunjukkan bahwa bekas lebam menghadirkan memori dan luka masa kecil yang selalu dekat dengannya. Badan Garvi bergidik seraya angin sore berhembus. Udara petang ini terasa sangat menusuk. Tidak hanya dingin, tetapi ingatan tentang kakaknya yang meninggal dahulu ikut memberi rasa perih di luka yang masih terbuka lebar.
HP di saku Garvi bergetar. "Adelya". Tanpa berpikir panjang, Garvi menutup telepon itu. Sudah belasan missed calls ia dapatkan dari pacarnya itu. Sudah pasti pacarnya mencari Garvi yang hilang tiba-tiba di suatu pagi dan masih belum ada kabar hingga sore. Padahal ia merasa hal ini sudah tidak perlu dilakukan. Setiap ia pergi menyendiri tanpa kabar, lalu pulang, Garvi akan mendapatkan omelan dari Adel. Pergi ke mana melakukan apa dengan siapa. Sudah lima tahun mereka pacaran, harusnya Adel tidak perlu mempertanyakan hal itu lagi. Jawaban Garvi masih akan selalu sama. Makam kakaknya. Sesekali mungkin berbeda. Tetapi itu hanya kalau Garvi ingin melampiaskan remah-remah kemarahan di suatu tempat.
Garvi mendengus berulang kali. Kalau saja ia mengenakan baju hangat, mungkin ia bisa bertahan lebih lama di depan makam kakaknya. Mungkin, Garvi bisa lebih lama menyampaikan penyesalannya yang tidak terucap lebih lama.
Gemuruh petir mulai terdengar jelas dan awan-awan abu berkumpul di sana-sini. Air hujan turun sedikit demi sedikit. Menandakan sudah waktunya Garvi pulang. Ia tidak ingin kehujanan karena ada satu tempat lagi yang harus dikunjunginya sore ini.
Garvi mengusap kata "Arunika" yang kini sudah hampir tidak terbaca di batu nisan kakak perempuannya. Tentu saja setelah 2 dekade berlalu, tanpa ada penggantian batu nisan karena ini adalah batu kualitas rendah, ukiran nama kakaknya akan termakan oleh waktu. Suatu hari nanti Garvi yakin, saat ia kembali ke sini, batu tersebut sudah tidak bernama. Tidak merekam siapa yang sudah menyatu dengan tanah. Tetapi ia akan tetap tahu. Di bawah batu nisan itu, terbaring masa lampau yang ingin ia hidupkan kembali.
Kalau batu ini melupakan kakak, setidaknya Garvi masih ingat. Akan selalu ingat, kak. Garvi pamit. Assalamu'alaikum.
Baru saja Garvi beranjak, Hpnya kembali bergetar. "Toni". Kalau nama itu muncul, artinya ada sesuatu yang mendesak di bengkel rumah. Berbagai macam skenario muncul. Apakah Om sedang butuh obat? Atau jangan-jangan Toni sedang kencan dengan pacar-pacarnya di hotel melati dan tidak akan pulang sampai esok hari, lalu tidak ada yang menjaga bengkel sehingga Garvi harus pulang? Ia berdecak kesal. Mungkin urusannya ke lapas harus diurungkan hari ini.
"Main sama cewek-ceweknya nggak bisa ditunda aja, Ton? Weekend kan waktunya kamu jaga, masa saya yang jaga lagi?" Garvi membuka suara.
"Bukan, bukan. Ini ada cewe cari lo."
"Adel maksudnya?"
"Editor."
Sial. Sudah dua bulan belum ada kabar terkait novel ketiga garapan Garvi. Berkali-kali jika nama editor itu muncul di hpnya, Garvi akan mencari-cari alasan ketika menjawab teleponnya. Akhir-akhir ini ia lebih memutuskan untuk mematikan nada dering yang muncul dari si editor. Tentu saja editor itu tidak mau berhenti menghubunginya. Melalui email ia mencerocos–dengan gaya bahasa profesional tentunya–mengingatkan Garvi untuk segera menuntaskan premis dan sinopsis novel ketiga yang sudah dijanjikan melalui kertas dan ditandatangani dengan materai. Email-email yang masuk tidak pernah Garvi balas. Ia masih ingin menikmati waktu senggangnya. Masih ingin menikmati waktu bersama Arunika.
Pada awalnya Garvi hanyalah seorang karyawan kantor yang bekerja dari 9-5. Namun ia merasa tidak nyaman dengan bagaimana kantor mengharuskannya untuk selalu hadir. Rutinitas Garvi akan terganggu. Akhirnya ia mencoba mencari pekerjaan lain yang bisa menghidupi dirinya sembari melakukan rutinitas secara lebih bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garvi Hinggap di Bulan
Romance"Jadi laki-laki harus kuat, Vi. Nggak apa-apa nangis, tapi kamu harus tahan, ya. Kamu juga harus tahu, kalau kamu bukan sebuah kesalahan." Suara Arunika bergetar. Itulah pesan almarhumah Arunika 20 tahun lalu kepada Garvi kecil. Kini saat ia sudah d...