Garvi tidak bisa melupakan malam itu. Berkali-kali mimpinya dihidupkan dengan bayang-bayang Bulan yang kikuk sekaligus menggemaskan. Kata-kata Bulan tidak pernah terdengar begitu indah di telinganya. Tentu ia seharusnya tidak melakukan hal itu. Garvi sendiri tidak pernah berciuman dengan Adelya. Ia berusaha menahan dirinya agar bisa berciuman sampai menikah nanti. Dirinya hanya mampu untuk berkompromi dengan pegangan tangan dan berdekapan. Tetapi lebih dari itu, tidak. Ia tidak mau nafsu mengendalikan dirinya dan mengambil alih kemudian memanfaatkan keadaan dan menggunakannya untuk mendapatkan kesenangan semata. Garvi ingin hawa nafsunya terbebaskan ketika perasaan cintanya begitu kuat hingga mengikat tali pernikahan.
Meski begitu, malam terakhir bersama Bulan masih tetap terbayang-bayang dengan jelas. Bagaimana matanya begitu dekat sekaligus indah. Ia menutup hampir menutup matanya sambil menggigit bibir kecilnya yang merah merona. Seperti remaja, Garvi berulang kali menendang-nendang kakinya ke langit. Ternyata memang ada yang indah di kehidupan ini.
Garvi lupa menutup pintu kamar dan tanpa sengaja Toni melihat tingkahnya yang amat sangat berbeda ketika melewati kamarnya. Ia tersentak dan langsung menegakkan badannya sambil berpura-pura merapikan tempat tidur.
"Terakhir kali lo begini waktu lo jadian sama Adel. Jangan-jangan....?"
"Berisik, ah."
"Sialan, lo, gak cerita-cerita."
"Buat apa saya curhat sama playboy kelas kakap yang nggak ngerti cinta?"
"Najis, sok puitis banget, lo. Ogah juga dengarnya, ah. Bualan anak kecil. Masih mending gue. Nggak perlu ada ikatan, hubungan badan pun jadi. Lo paling coli, doang. Menyedihkan."
Garvi tidak mempedulikan ejekan Toni. Ia justru berpikir hal lain. Kalau bukan karena Toni, ia tidak akan bertemu dengan Bulan. "Tapi berkat kamu saya bisa pelan-pelan lupain Adel. Makasih ya, Ton."
Toni hanya mengangkat dagunya. "Siapa cewenya?"
Pertanyaan itu membuat Garvi diam. Ia bergumam panjang sambil pura-pura mencari barang. "Itu.. Ya, kamu nggak perlu tahu dulu."
"Yaelah pake rahasia-rahasiaan segala. Emangnya lo anggep gue ape?"
"Ya, intinya kami belum memiliki hubungan. Jadi saya nggak mau buru-buru bilang ke kamu. Udah itu aja."
"Hmm. Oke, deh. Good luck buat lo berdua. Semoga lo baik-baik aja."
Saat Toni beranjak pergi, Garvi membuka ponselnya dan membuka aplikasi yang biasa ia gunakan untuk memesan kencan dengan Bulan. Ia tidak sabar untuk bisa menemui Bulan kembali. Ada banyak hari-hari indah yang akan menantinya. Garvi berharap, begitu pula bagi Bulan. Tapi ia mesti hati-hati. Ia tidak mau melanggar batasan yang sudah Bulan buat sejak awal. Kalau tidak, bisa jadi mereka tidak dapat berhubungan kembali. Tidak dapat berkencan lagi.
Memangnya apa yang kamu inginkan, Vi?
Kencan. Itu saja.
Kalau kamu sudah tahu hubungan kalian hanya sebatas pelacur dan klien, kenapa masih memaksakan kehendak?
Nggak ada yang dipaksakan. Saya hanya mau menikmati waktu-waktu saya dengan Bulan.
Garvi kembali berbaring di tempat tidur, dan memejamkan matanya dengan kuat. Ia ingin sekali pikirannya berhenti sejenak untuk tidak mengingatkan dirinya akan risiko yang harus ia tanggung. Biarkanlah dirinya menikmati momen-momen indah ini. Tidak perlu ada yang melarangnya. Tidak orang lain, tidak juga pikirannya sendiri.
Membahagiakan diri sendiri?
Sudah lama Garvi tidak memikirkan hal itu. Ia selalu menempatkan pikiran dan hatinya untuk melukai diri sendiri. Ia merasa tidak pantas mendapatkannya karena masa lalu yang ia perbuat kepada Arunika. Lebih tepatnya, apa yang tidak bisa ia perbuat untuk melindungi kakak perempuannya.
YOU ARE READING
Garvi Hinggap di Bulan
Romance"Jadi laki-laki harus kuat, Vi. Nggak apa-apa nangis, tapi kamu harus tahan, ya. Kamu juga harus tahu, kalau kamu bukan sebuah kesalahan." Suara Arunika bergetar. Itulah pesan almarhumah Arunika 20 tahun lalu kepada Garvi kecil. Kini saat ia sudah d...