Chapter 22.

21.4K 2.4K 95
                                    

18+ Be Wise Dear

Menginjak minggu kedua satu keluarga itu tinggal di daerah pusat kota kekaisaran, banyak perubahan yang satu per satu terjadi. Hubungan Alera dan Lendra semakin dekat semenjak mereka saling mengetahui 'identitas' asli diri masing-masing.

Pun dengan uang-uang penjualan sabun yang terkumpul cukup banyak. Selama kurun waktu kurang dari dua minggu, Lendra benar-benar berhasil mengekspor semua sabun buatan sang istri. Entah dari mana Lendra dapat melakukan itu, Alera pun tak tahu.

Padahal Lendra hanyalah seorang rakyat jelata, namun kecepatannya sudah seperti orang yang memiliki kekuasaan dengan banyak informan di sekitarnya. Lendra sangat misterius, dan Alera tahu itu.

Omong-omong tentang sihirnya, Alera semakin bisa mengendalikan sihirnya. Banyak kemampuan serta pengetahuan baru tentang sihir yang ia dapatkan. Salah satunya adalah sebuah kenyataan seseorang perempuan akan mengalami masa meredupnya sihir selama kurang lebih tiga hari karena melakukan aktivitas suami istri.

Aktivitas suami istri? Benar. Fakta yang sang mencengangkan sekali, bukan? Terlebih waktu sihir itu meredup juga cukup lama.

Bagaimana Alera bisa tahu? Tentu saja dengan pengalamannya sendiri. Tempo hari yang lalu, telah terjadi sebuah kegiatan panas antara Lendra dan Alera, yang mungkin, dari kegiatan tersebut akan kembali muncul Alera atau Lendra junior.

Seperti pagi ini, Alera membuka matanya karena sinar matahari yang merembes memasuki jendela. Tubuh Alera terasa remuk redam serta persendian yang terasa ingin lepas dari tempatnya. Alera meringis dengan mata berkaca-kaca, jujur saja ini bukan yang pertama kali ia merasakan sesakit ini, tetapi tetap saja ia tidak terbiasa.

Sebuah tangan berat masih terasa menimpa pinggang rampingnya, yang mana hal tersebut membuat ia semakin meringis sakit. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya kemudian menoleh ke belakang. Wajah tampan Lendra yang sedang tertidur seketika masuk ke dalam indra penglihatan Alera.

Pria itu masih belum terlilit sehelai benang pun sama halnya dengan Alera. Dengan susah payah dan setetes air mata yang mengalir, Alera menggeser tangan sang suami kemudian mendudukkan dirinya.

Tampaknya pergerakan Alera tersebut membuat Lendra terbangun. Pria itu terkejut saat mendengar isakan kecil istrinya kemudian lekas mendekati tubuh mungil itu.

"Hei, kamu kenapa sayang?" tegur Lendra lembut.

Alera menoleh ke arah sang suami, setelahnya, ia semakin terisak. "Tubuhku sakit semua, aku tidak bisa bergerak," rengek Alera.

Mendengar itu, Lendra jadi merasa bersalah. Ia dengan sigap mendekat kemudian memeluk sang istri masih dengan keadaan mereka yang tidak terbalut sehelai benang pun. "Maaf," ucapnya pelan.

"Mau mandi," rengek Alera lagi. Memang di rumah yang mereka sewa ini memiliki air yang mengalir dari mata air menuju belakang rumah mereka. Air itu dialiri menggunakan bambu sebagai pengganti selang karena di zaman ini tentu belum ada yang namanya selang.

Dengan telaten, Lendra membawa sang istri menuju belakang rumah tentunya setelah ia mengenakan baju sedangkan sang istri hanya dilapisi selimut. Untuk Enzi sendiri, anak laki-laki itu masih tertidur nyenyak di kamarnya. Seminggu terakhir, Lendra menyulap sebuah gudang menjadi kamar untuk anaknya tempati. Awalnya Enzi tentu menolak, tapi karena diiming-imingkan dengan seorang adik kecil, Enzi pun setuju.

"Biar cepat punya adik, ibu sama ayah harus tidur cuma berdua." Begitulah kata Lendra kala itu.

~o0o~

"Semua sudah siap?" seorang pria dengan jubah kebesarannya bertanya kepada seorang bawahannya yang mengenakan baju zirah.

"Sudah, Yang Mulia. Dalam waktu satu minggu kita sudah bisa untuk melakukan peperangan melawan dia," balas sang bawahan.

Pria yang dipanggil yang mulia itu tampak bertepuk tangan ringan seraya menyeringai. "Bagus, tetap latih pasukan kita dengan kuat, kita harus melenyapkan dia sebelum kristal kehidupan kembali ke tangannya."

"Baik, Yang Mulia. Laksanakan!"

Pria berjubah itu bangkit, kemudian berjalan menuju sebuah ruangan diikuti sang bawahan. Di ruangan itu terlihat sebuah peti yang baru saja berhasil ia curi dari pemilik aslinya. "Sebentar lagi. Aku akan menguasai dunia setelah mengalahkanmu." Pria itu tertawa kencang namun bagi orang-orang yang tidak biasa mendengar tawa tersebut pasti akan merasakan tubuh mereka merinding.

~o0o~

Hari ini kegiatan Lendra dan Alera hanya berdiam diri di kamar, sampai-sampai Enzi merajuk karena ia tidak diberikan perhatian dari kedua orang tuanya. Lihat saja, Lendra sampai kelimpungan membujuknya sedangkan Alera sendiri ingin ikut membujuk tetapi bangun saja ia tidak sanggup.

"Enzi sayang. Sini, Ayah gendong," ucap Lendra lembut, namun Enzi masih mengalihkan pandangannya.

Akhirnya Lendra menghela napas, kemudian langsung menggendong sang anak tanpa menunggu persetujuan. Sontak hal tersebut membuat Enzi meronta-ronta di dalam pelukannya. Tidak menghiraukan rontaan itu, Lendra mengajak anaknya ke arah halaman depan. Ia ingin menyaksikan indahnya bulan purnama bersama sang anak.

Ya, tanpa sadar, hari ini begitu cepat berlalu, tanpa adanya kegiatan yang terlalu menguras tenaga.

"Enzi, anak Ayah. Coba lihat bulannya, cantik bukan?" ucap Lendra namun Enzi masih mengabaikannya. Ia sudah tidak meronta lagi dan hanya menenggelamkan wajahnya di dada sang ayah.

"Nak, beberapa hari yang lalu Ayah pernah bilang ke Enzi kalau mau punya adik, Ayah dan Ibu harus tidur sekamar tanpa Enzi, kan?" tanya Lendra.

Enzi tanpa sadar mengangguk membuat Lendra tersenyum seraya mengelus surai hitam sang anak. "Nah, karena itu, seharian ini Ayah dan Ibu ada di kamar biar adik buat Enzi cepat jadi," ucapnya berbohong.

Sepertinya tidak apa-apa membohongi bocah laki-laki ini agar berhenti merajuk. Jujur saja Lendra sudah cukup kesal dengan anaknya ini. Namun apa boleh buat, ini anaknya, anak yang berasal dari benihnya.

"Tapi Ayah dan Ibu dari tadi pagi tidak peduli sama Enzi," rengek bocah itu.

"Maka dari itu, Ayah dan Ibu minta maaf. Ayah harus mengurus Ibu karena Ibu sedang sakit demi Enzi yang mau punya adik. Mau ya, maafkan Ayah dan Ibu?" Lendra kembali mengelus surai hitam tersebut. "Awas saja kamu masih merajuk dari bapakmu ini. Aku buang kau ke danau," lanjutnya membatin.

"Iya, Enzi maafkan. Maaf juga Enzi karena merajuk dari ayah dan ibu," balas Enzi seraya memeluk erat tubuh sang ayah.

Andai saja ia tahu bahwa laki-laki yang ia panggil ayah ini beberapa kali mempunyai rencana buruk terhadapnya...

TBC.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang