0 : 0

128 20 0
                                    

“Bangun!”

Pukulan keras itu melayang tiba-tiba sehingga tak cukup membuat sadar empunya. Korbannya terjatuh, membentur balok penyangga kursi yang ada di café tersebut. Siren eyes-nya menatap nyalang akan figur yang masih mengusap sisa darah yang keluar melalui birai bawahnya yang pecah dan tampaknya masih betah untuk menjatuhkan diri dihadapannya.

Seluruh pasang mata seakan menatap jengah ke arah mereka. Tidak ada yang berani—atau tepatnya, enggan untuk memisahkan. Malah melalui rungunya, bisa ia dengar bahwa kerumunan dalam pakaian ala geng motor tersebut bersiul ke arahnya menggunakan pias kurang ajar mereka. Seakan mendukung penuh seandainya dia benar-benar berkeinginan untuk membunuh salah satu anggota mereka yang agaknya dalam pengaruh minuman keras.

Dengan terhuyung-huyung, ia julurkan jari telunjuknya; menunjuk tepat ke hidung bangirnya sembari cegukan secara berkala disertai senyum cabulnya. “Bangsat. Pukulan lo lumayan juga, Cantik.

Ia sentak kasar kala tangan menjijikan baginya itu tengah berusaha menyentuh wajahnya. Netranya masih menunjukkan kebencian yang kentara, sementara emosinya kian mendidih ketika dia rasa semua penghuni café ini terdengar meremehkannya.

Lelaki ini benar brengsek adanya. Senyum yang terkesan begitu cabul seolah melekat sejak pertama kali ia melihatnya. Dia heran, kenapa kakaknya sangat tergila-gila kepada maniak sok keras dengan tampang tak seberapa ini?

“Tanggung jawab,” ujarnya tanpa mengeluarkan ekspresi yang berarti, namun dari nada suaranya benar penuh penekanan serta aura dominasi yang luar biasa. Tegas serta menusuk. Andai saja orang ini tak sedang mabuk, dia sangat berharap tatapannya cukup mampu memancarkan intimidasi.

Kekeh remeh menjadi satu-satunya respon dibalik gelak tawa yang melingkupi seiring ruangan kala itu. “Kenapa? Lo hamil anak gue? Itu konsekuensi, Darling. Siapa suruh muka lo cantiknya makin nggak ngotak pas lagi dibawah gue, hm?”

Pemuda itu berdecih jijik. Ia hembuskan napasnya perlahan. Tungkainya mengambil langkah mendekat ke arah lelaki yang tengah tersenyum pongah. Cukup dekat sampai-sampai hidung mereka nyaris bertabrakan detik itu.

Ia selami manik masing-masing. Lelaki ini rupanya cukup percaya diri dengan menyangka bahwa ia akan menciumnya waktu itu. “Lo agresif juga ternyata,” Ia mendesis. Bahkan sebelum fantasinya belum juga terjadi.

Si pemuda tersenyum miring. Dengan kurang ajar, ia ludahi wajah sombong itu. Menciptakan keheningan yang seharusnya terjadi ketika ia baru tiba ke sini.

Sorry, nggak sengaja. Muka lo mirip tempat sampah soalnya.”

Monolid itu berkilat tajam seketika. Kerah kemeja yang tengah dipakainya dengan cepat segera dicengkeram oleh tangannya. “Sialan! Nyari mati lo, hah?!” hardiknya penuh amarah.

Ia mengendikkan bahu. “Nggak, tuh. Gue, sih, maunya bajingan kayak lo ini yang mati. Gue berani bertaruh kalau dunia mungkin bakal lebih bisa dinikmati tanpa adanya lo.”

Anjing!

Bocah ini begitu sombong dengan mencari masalah kepadanya malam ini. Persetan dengan muka yang sebelumnya ia akui termasuk kedalam tipenya! Pemuda ini harus diberi pelajaran sebelum memutuskan dengan siapa dia kini mencari perkara.

Spontan, ia pejamkan matanya rapat-rapat ketika mulai menyadari bahwa besar akan terjadi jika lelaki itu akan membalas tindakannya diawal tadi.

Capt!” seruan itu tiba-tiba terdengar ketika seharusnya bogem mentah ia terima atas kalimat tak sopannya. Kelopak matanya seketika terbuka lebar; menyadari bahwa di depannya saat ini terdapat sebuah punggung yang sedemikian lebar menghalangi jarak pandangnya dari lelaki yang sewajarnya telah memukulnya tersebut.

Dulcet +MiljuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang