Satu Langkah

176 14 0
                                    

"Bee..."
Pangil mas Narve padaku. Mas Narve memang mempunyai pangilan tersendiri untukku, dan dia selalu memangilku sayang atau bee.

"Ya mas"

"Hadap sini sebentar"
Katanya lagi lembu.

"Mau ngapain? Jangan aneh-aneh"
Kataku galak sambil melotot ke arahnya.

"Enggak... sini deh, hadap sini coba"

"Kenapa? Kok dingin banget tangannya? Mas kenapa?"
Tanyaku kawatir saat dia menyentuhku dengan tangan dinginnya.

"Gak... gak papa kok. Turun yuk, itu bapak sama ibu sudah menunggu di depan pintu."
Katanya setelahnya, aku melirik ke arah rumah memang sudah ada ayah dan mama yang menunggu kami di depan pintu.

"Dih, gak jelas"
Gerutuku padanya, namun dia tak meresponku. Dia lebih memilih membuka pintu mobil lalu keluar.

Aku turun dari mobil, dan menyusul mas Narve yang sudah lebih dulu turun dari mobil dan membawa martabak kesukaan ayah yang kita beli saat pulang tadi. Mama terlihat bahagia menyambut kami. Kemudian mama menyuruhku untuk membuat minuman untuk mas Narve dan Ayah.

"Kamu balikan?"
Tanya mama padaku yang sedang membuatkan minuman di dapur.

"Gak tau ya"

"Kok gak tau?"

"Hmem"

"Hmem gimana? Kamu balikan?"

"Kayanya sih iya ma"

"Kayanya? Kok gak jelas gitu?"
Tanya mamaku penasaran, namun dia tak bertanya lagi. Lebih memilih meninggalkanku dan berjalan ke ruang tamu sambil membawa roti bolu buatannya.

"Jika allah mengizinkan, saya ingin menjadikan putri bapak dan ibu sebagai istri saya, menemani setiap langkah perjuangan saya, menjadi penyejuk hati saya dikala gundah dan menjadi penasihat saat saya melakukan kesalahan"

Aku mematung sejenak di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah saat mendengar mas Narve mengucapkan kata-kata yang sulit aku pahami itu, walaupun terlihat sederhana ucapannya, namun dadaku tiba-tiba saja bergetar, tanganku dingin dan pikiranku kosong.

"Dari awal saya kenal putri bapak dan ibu, saya merasa seperti telah menemukan orang yang tepat, sekiranya bapak dan ibu menyetujui, saya ingin melamar putri bapak dan ibu. Melanjutkan hubungan kami berdua kejenjang pernikahan."
Lanjutnya lagi, dengan menatap serius ke arah ayah.

"Emm, maaf maksud ucapan Narve barusan apakah melamar anak Ibu?"
Kata mamaku setelah hanya saling tatap dengan Ayah ketika mas Narve berbicara panjang lebar.

"Betul, maksud dan tujuan saya datang kesini ingin meminta izin kepada bapak dan ibu untuk melamar putri bapak dan ibu, menjadikan dia sebagai istri saya."

"Apakah sudah kamu pikirkan lagi nak? Apakah kamu sudah benar-benar yakin ingin meminang putri saya?"
Tanya Ayah pada mas Narve.

"Saya sudah yakin pak, saya berjanji akan membahagiakan dan memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya. Saya ingin menyampaikan ketulusan hati saya bahwa saya mencintai anak bapak, izinkan kehadiran hidup saya mewarnai hidup anak bapak dan izinkan saya mengajak anak bapak kejenjang yang lebih serius dengan menikahinya."

"Apa orangtuamu tau tentang hal ini?"

"Alhamdulillah tau bu"

"Apakah mereka setuju? Maksud ibu, Erine hanya perempuan biasa nak, banyak kurangnya, dan dari keluarga yang biasa-biasa saja."

"Maaf kalau omongan ibu menyakitkan, ibu hanya ingin memastikan saja."
Kata mamaku kemudian.

"Alhamdulillah mereka setuju bu. Bahkan terus terang mama saya yang selalu menyuruh saya segera menikahi Erine."
Katanya mantap dan lugas.

Apakah aku tidak salah dengar? Apa benar bu Elanie selama ini yang menyuruh mas Narve untuk segera menikahiku? Apa mungkin karna beliau pernah tau satu kesalahan kita saat berciuman di dapur dulu? Ralat lebih tepatnya anaknya yang suka main sosor aja padaku.

Padahal selama ini, bu Elanielah yang sepertinya cuek padaku saat beliau mengetahui hubungan kami. Apa beliau menyukaiku dan bisa menerimaku nanti? Benar kata mama, aku hayalah wanita biasa-biasa saja, banyak kekurangan,  dan tidak belum punya apa-apa. Apakah keluarga mas Narve benar-benar mau menerimaku?

Sudah aku bilang dari awal kan? Bahwa mas Narve adalah orang yang serba sempurna bagiku. Wajahnya yang tampan, pintar, pekerjaan bagus, lahir dari keluarga kaya raya dan masih banyak lagi. Sangat berbanding terbalik denganku.

Memang, saat ini perempuan diklaim lebih banyak memilih pasangan hidup karena kemapanannya, atau kekayaannya. Perempuan ingin menikah dengan pria yang memiliki kekayaan besar dengan alasan untuk meningkatkan status sosial. Selain itu, Ketika dia memiliki banyak uang di tangannya, dia tahu bahwa hidupnya terjamin untuk masa depan. Dan mungkin masih banyak lagi.

Ketika aku nanti menikah dengan mas Narve, mungkin aku akan dengan mudah mendapatkan itu semua. Namun lagi-lagi aku terlalu takut bersanding dengan mas Narve. Takut tidak diterima keluarganya, takut kalau tiba-tiba keadaanku yang biasa-biasa ini jadi suatu permasalahan di kemudian hari seperti cerita-cerita orang pada umumnya.

Sekarang, apakah aku ragu dengan mas Narve? Entahlah, rasa takut itu terlalu besar hingga mampu mengalahkan rasa cintaki pada sosok pria dihadapanku saat ini. Mungkin mas Narve tidak mempermasalahkan dengan gap yang aku punya, namun rasa insecure mungkin justru timbul dalam diriku.

Dari cerita sebagian orang, orang yang berpasangan dengan orang yang lebih kaya cenderung takut merasa terlalu bergantung dan manja, hingga merasa seperti selalu berada di bawah pasangannya. Sedihnya aku tak kuasa untuk mengatakannya dan justru akan timbul kebencian terhadap diri sendiri.

Belum lagu, jika ada banyak perbedaan antara aku dan dan mas Narve, seperti gap kekayaan yang jauh, latar belakang keluarga yang juga demikian berbeda, apalagi usia yang terpaut lama akan ada kemungkinan orang-orang berpikir bahwa aku hanya menginginkan uangnya saja. Meskipun hal ini mungkin tak benar, namun anggapan-anggapan seperti itu harus siap aku terima bukan?

***

SATU CIRCLEWhere stories live. Discover now