37. Sudewi atau Pitaloka?

51 12 0
                                    

"Beban batin yang ditahan akan memberatkan hatimu. Sang Hyang Widhi tak menyukai makhluk seperti itu."

Sudah sekian kali aku membujuk Sudewi untuk meruahkan penyebab kesenduannya. Ia memang sosok yang pemurung, tetapi kini sudah tampak tak wajar. Simpul senyum yang dipajangnya kentara sekali dipaksakan. Matanya saban hari sembab seperti habis disengat tawon. Ia sering kedapatan melamun di taman sendirian tanpa seorang dayang.

"Sudewi, hidup ini cuma sekali. Masa segalanya kaupendam untuk selamanya?"

Ia hanya menggeleng dan menunjukkan deretan giginya, membuat matanya terbenam dalam kelopak.

"Aku tahu kau terbebani suatu hal karena aku pernah mengalaminya saat ada konflik di keratonku. Tapi aku bercerita pada Sumana dan Ni Wuri sehingga hatiku lebih plong."

"Ini bukan masalah politik, Nertaja." Akhirnya ia membuka suara.

"Kalau begitu ceritakan apa yang terjadi! Masalah asmara? Aku pernah menangisi Sumana karena lima tahun cintaku terombang-ambing."

Ia kembali bungkam, membuatku bertanya-tanya dalam hati apakah benar perihal asmara yang membuatnya tampak patah arang.

Pagi ini masih berkabut, bahkan sang rawi belum sepenuhnya menampakkan diri di balik tembok berlumut taman sari. Namun, Sudewi sudah meratapi nasib dan tak mau cerita apa-apa.

"Aku tak berniat mencampuri urusanmu, maaf jika kau berpikiran seperti itu. Setidaknya dengan berbagi keluhan, hatimu akan terasa lebih ringan. Aku tak bisa terus memaksamu. Kupikir aku harus kembali, mungkin anak-anakku sudah bangun," ucapku seraya beranjak dari bangku dan membuat Sudewi mendongak.

"Aku mencintai Prabu Hayam Wuruk," aku Sudewi.

Aku kembali mendarat di bangku kayu, menantinya menjelaskan lebih rinci. Ia menghela napas, tak mampu membalas tatapanku karena air sudah merembes dari irisnya.

"Aku menyukainya sejak ia masih bernama Raden Tetep. Tak munafik aku mengharap balasan. Aku tetap sabar barangkali ada keajaiban, tapi hatiku hancur lebur saat tahu ia akan menikahi Putri Sunda."

Selain menjadi pendengar yang baik, sebenarnya aku bingung apa yang harus kukatakan. Aku berhasil membuatnya bercerita, tetapi aku gagal menenangkan kegelisahannya yang tetap melekat di wajah melankolis itu.

Ni Wuri menjadi penyelamat suasana yang mendadak canggung. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku dengan Nagarawardhani yang menangis kehausan di gendongannya. Aku minta diri terhadap Sudewi yang tersenyum menutupi kesedihannya sebelum aku benar-benar menghilang di balik gerbang taman sari.

Sepanjang perjalanan ke peraduan terasa senyap. Tak banyak prajurit yang berjaga atau yang tengah berlatih. Dayang pun hanya sejumput yang berlalu lalang. Tak mau ambil pusing, aku masuk ke kamar dan memberi susu pada Nagarawardhani di samping Gagak Sali yang juga terbangun oleh gerakanku.

"Gagak Sali main sama Bibi Ni, ya."

Anak itu mendekat dan tampak ingin berada di posisi Nagarawardhani. Aku mengisyaratkan Ni Wuri untuk membawanya keluar.

"Mari, Bibi akan membawa Raden jalan-jalan."

Mentari sudah terlihat terik ketika aku keluar kamar mencari dayang yang tak sibuk untuk menjaga Nagarawardhani selama tidur. Aku hendak menemui Kanda dan tak membiarkan putriku sendirian dalam kamar. Siapa tahu ia terguling dari ranjang karena tak ada penjagaan.

"Kanda sedang apa di sini?" tanyaku seraya mendekat ke pendopo tempat Kanda berdiri sambil menatap kosong pelataran istana.

"Dinda, aku merasakan apa yang kaurasakan." Ia berbalik menghadapku, tatapannya tak lembut seperti biasanya.

"Apa maksud Kanda?"

"Akan terjadi perang di Lapangan Bubat."

"Rombongan Sunda sudah tiba di Majapahit? Apakah karena itu istana tampak sepi? Mengapa Kanda tak ikut ke sana?" cercaku beruntun.

"Bhayangkara berangkat tengah malam dan tak ada yang membangunkanku." Ia menunduk, kedua tangannya mengepal.

"Keterlaluan. Paman Mada bertindak semaunya sendiri. Aku akan menyiapkan kereta kuda. Kita susul mereka ke sana. Apakah Kanda mengizinkan?"

Ia melenggut sepakat. Pandangannya tajam tetapi mengandung kegetiran. Aku setengah berlari menuju belakang istana untuk menitahkan segenap pengawal menyiapkan kereta kuda dan ikut serta menyusul pasukan yang dikerahkan Paman Mada menuju Lapangan Bubat.

Tak hanya aku dan Kanda yang berada di dalam kereta kuda. Sudewi, Ni Wuri, dan satu dayang yang kutugaskan menjaga Nagarawardhani kuikutsertakan atas izin Kanda. Sepanjang perjalanan aku menggenggam tangan Kanda guna meringankan kekhawatirannya meski aku sendiri tak dapat menghalau rasa gundah dalam diriku.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di Lapangan Bubat yang luasnya mampu menampung dua pasukan. Kanda sudah menilik dari jendela kereta, rautnya tak mampu kubaca. Ia keluar terlebih dahulu, aku menyusulnya dan mendapati darah tercecer entah berasal dari manusia atau kuda di atas rerumputan yang berasap habis terbakar. Aku tak mampu menahan bobotku jika Sudewi tak menangkap lenganku.

"Jangan bawa anak-anakku keluar!" perintahku sebelum Ni Wuri dan seorang dayang menyusul kami. Mereka membatalkan niat, kembali mengurung diri dalam kereta kuda.

Aku menyisir pandang, meneguhkan hati untuk melihat kondisi tanah lapang yang sebelumnya hadir dalam bayanganku. Bau amis serta hangus menusuk hidung. Prajurit bergelimpangan, bahkan ada yang melayang di atas tanah karena tombak yang menembus tubuhnya lebih dulu menancap dalam tanah. Kanda berjalan gontai menuju satu titik yang membuatnya berteriak putus asa.

Aku dan Sudewi berlari mendudunya, hanya mampu bertimpuh meratapi sosok dengan busana hijau yang ada dalam dekapan Kanda. Baru pertama kali aku mendapati Kanda menangis pilu seperti itu, mengalahkan isakanku yang ikut terluka melihat kesedihan Kanda. Ia begitu erat mendekap Putri Sunda yang matanya sedikit terbuka dan kulitnya pucat sekali. Dalam kondisi sudah tak bernyawa pun, Dyah Pitaloka masih tampak menawan dengan paras tanpa cela. Kanda melepas dekapannya dan aku mendapati ujung patrem⁵⁷ menancap di dada kiri Dyah Pitaloka yang darahnya sudah mengering.

"Siapa yang membunuh calon permaisuriku?!" Suara Kanda menggelegar bagai guntur di tengah hari yang terik.

Netranya kemerahan, tatapannya nyalang menelisik sekitar dan berhenti pada satu sisi. Aku mengikuti arah pandangnya yang tertuju pada pria dengan busana kebesaran serta mahkota, Raja Sunda bernama Maharaja Linggabuana Wisesa. Kanda kian murka melihat pemandangan nahas itu, aku tak sanggup menatap lebih lama Raja Sunda yang juga tergeletak bersimbah darah.

Paman Mada muncul di belakang kami, membuat Kanda lekas berdiri menghadapnya menuntut penjelasan.

"Ampun Gusti Prabu. Mereka tak mau menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai ungkapan takluk."

Paman Mada jauh lebih tua dari yang terakhir kulihat. Tubuhnya kian berisi, dahinya yang mengerut hingga alisnya menukik tak tampak seperti Paman Mada yang dulu sering bergurau denganku.

"Siapa yang membunuh Pitaloka?"

"Ampun, Gusti Prabu. Semua tak sesuai rencana. Dyah Pitaloka mengakhiri hidupnya sendiri."

"Siapa yang menyuruh Paman bertindak seperti ini?" Kanda menekankan tiap kata. "Aku hendak menikahi Pitaloka bukan serta merta menjadikan Sunda tunduk pada Majapahit. Untuk pertama kalinya ambisi Paman mengecewakanku."
_______
⁵⁷ Patrem : Pisau kecil yang digunakan oleh perempuan.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora