43. Menghapus Hikayat

47 14 0
                                    

Bulan Sura, 1368 Masehi

Kupikir aku sudah dijemput ajal setelah mendengar tangisan jabang bayi yang sanggup menguras keringatku. Namun, mataku kembali terbuka, memicing karena beradaptasi dengan cahaya matahari yang menyeruak dari tirai terbuka. Suasana tak lagi riuh, cuma terdengar kicau burung dan langkah kaki yang melintasi depan kamarku.

"Syukurlah Gusti kembali sadar. Tabib bilang, kondisi Gusti lemah sekali karena pendarahan." Ni Wuri bertimpuh di samping ranjang seraya memijati lenganku.

"Apakah anakku baik-baik saja?" lirihku

Ni Wuri mengisyaratkan sisi ranjangku yang lain lewat matanya, kemudian aku tersadar keberadaan Sura kecilku yang tidur pulas. Aku menelisiknya, memastikan ia masih bernapas.

"Jangan kabarkan Sumana. Dia pasti tak sudi melihat Sura."

"Gusti jangan berkata demikian. Siapa tahu dengan kelahiran ...."

"Sura, Surawardhani. Aku memberinya nama itu karena bulan kelahirannya."

"Dengan kelahiran Putri Surawardhani, agaknya Gusti Sumana merelakan Putri Nagarawardhani di Lasem sana."

Aku menggeleng, membuat kepalaku jadi terasa berputar-putar. Ni Wuri sigap memijat pelipisku hingga gejolak dalam kepalaku berangsur membaik.

"Bukan itu saja masalahnya, Ni. Sumana masih tak percaya bahwa Sura adalah darah dagingnya," pungkasku sebelum badanku beranjak dari kasur dan meraih gelas tembikar di kusen jendela.

Alih-alih plong karena terguyur minuman, rongga dadaku terasa nyeri. Nyeri yang tak biasa, bahkan untuk menarik napas saja terasa berat. Aku menghela napas pendek-pendek sembari meringis menahan sakit, sementara Ni Wuri tergopoh-gopoh keluar memanggil tabib.

Berpapasan dengan Ni Wuri yang kalang kabut di ambang pintu, kulihat Gagak Sali bergegas menghampiriku. Tubuhnya semakin bongsor dibalut wesket cokelat, memamerkan lengannya yang kian berotot. Tak terasa ia sudah menginjak masa remaja, baru kemarin ia belajar berjalan dan membuat Ni Wuri encok.

Disodorkannya gelas padaku, tetapi aku menggeleng seraya mendorong tangannya. "Apa yang sakit?" tanyanya dengan raut kuatir.

"Dada sampai punggung." Suaraku terdengar seperti bisikan. Tak lama kemudian tabib wanita datang menenteng obat-obatan.

Gagak Sali beringsut mundur, tabib berkemban putih dan jarik motif sulur itu meletakkan dua jemarinya di bawah leherku kemudian menarikku untuk bangun, memijat pelan punggungku dan menotoknya. Napasku berangsur membaik, tak lagi disertai rasa nyeri.

Tubuh lemasku kembali rebah, mataku terpejam dan sayup-sayup aku mendengar keterangan tabib itu sebelum kesadaranku melanglang buana.

"Gusti Nertaja mengalami gangguan pernapasan akibat teknik napas yang salah saat babaran. Beliau perlu istirahat dan jangan sampai banyak pikiran. Jamu ini harus diminum tiap malam, aku akan memijatnya dan bayinya tiap sepekan."

Mengetahui kondisiku, Gagak Sali rutin menyambangiku seusai belajar kanuragan maupun ilmu pengetahuan. Ia juga membantuku merawat Sura yang tak banyak menangis seperti dirinya sewaktu kecil dahulu. Meski Ni Wuri selalu ada di sampingku, aku amat bersyukur memiliki Gagak Sali yang penyayang.

"Maafkan aku, Ni. Kau lagi-lagi harus merawat anakku, dan juga harus mengurusku yang sakit-sakitan," ucapku saat Ni Wuri meracik obat-obatan.

"Hidup saya di Keraton memang untuk melayani Gusti. Jangan merasa bersalah, ini sudah tugas saya." Senyum keibuannya sungguh meneduhkan.

"Sibuk mengabdi di sini membuatmu tak punya waktu untuk memilih pasangan. Aku tak menahanmu untuk menikah, Ni. Kau berhak bahagia bersama cintamu."

"Bukan masalah bila saya jadi perawan tua. Gusti tak perlu khawatir, saya belum memiliki niat untuk menikah."

Pandanganku beralih pada Gagak Sali yang tertidur di bangku dengan posisi duduk dan kepala menengadah di sandaran. Seusai minum obat, aku pun hendak memejamkan mata, tetapi ada yang terasa mengganjal batinku. Aku mengizinkan Ni Wuri untuk tidur di kamarnya sendiri, meyakinkannya bahwa aku aman bersama Gagak Sali di sini.

Gagak Sali terjaga setelah mendengar decit pintu yang ditutup oleh Ni Wuri. Aku tersenyum padanya yang beringsut menghampiriku tanpa diminta, seakan-akan tahu ada yang hendak kuutarakan meski enggan.

Ia menggenggam tanganku selagi aku berkata, "Mpu Prapanca tengah menulis sebuah kitab dan ada sedikit hikayatku di sana. Hapus semua bagian kecuali aku dan Sumana memiliki anak bernama Gagak Sali dan Surawardhani. Aku tak mau para keturunanku mengenang siapa aku. Sebentar lagi aku akan menjadi abu, dunia ini tak lagi berarti. Aku tak mau kembali hanya karena ada yang membaca kisah hidupku."

Aku merasa hidup tak memiliki tujuan. Paman Mada telah mangkat, Kanda sudah memiliki kehidupannya sendiri, Sumana tak pernah mengunjungiku selama aku mengandung Sura, dan Nagarawardhani tak pernah membalas suratku.

"Ibunda jangan berkata seolah-olah akan berpulang! Aku takkan rela jika Ibunda meninggalkanku sebelum aku berhasil menjadi kesatria sehebat Paman Mada yang sering Ibunda ceritakan." Getaran suaranya sanggup menyayat benakku yang sudah tercabik.

"Aku ingin tahu apakah ayahandamu akan bersedih jika aku mati."

"Sang Hyang Widhi takkan suka jika Ibunda putus asa seperti ini!"

"Apa lagi yang harus kukejar di dunia ini, Sali? Orang-orang terkasihku mengabaikanku."

Ia menempelkan telunjuknya pada bibirku sambil merengek kemudian mengusap pipiku yang berlinang air mata. Aku sangat bersyukur bukan ia yang diminta Indudewi kala itu. Aku takkan pernah membiarkan kesatria penyayang itu meninggalkanku.

"Ibunda tidak menganggapku? Masih ada aku yang menyayangi Ibunda melebihi rasa kasih Ibunda terhadapku. Apakah Ibunda tega membiarkan Sura yang masih bayi ini terlunta-lunta?" sengaunya, membuatku tersadar kebenaran dalam tuturnya. "Kalau Ibunda mengizinkan, akan kujemput Ayahanda dan memaksanya kemari. Asal Ibunda berjanji akan baik-baik saja selama aku pergi."

Aku menggeleng, mencengkeram lengannya supaya tak bertolak dari sisiku. Aku akan kesepian tanpanya.

"Benar katamu. Aku masih punya kau dan Sura."

Ia mengangguk seraya tersenyum, air matanya kian berjatuhan. "Jangan menyia-nyiakan kami yang selalu ada, hanya demi orang yang belum tentu peduli."

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang