1367 Masehi
Gagak Sali dan Nagarawardhani berseri-seri menuntun ayahnya untuk masuk Keraton. Kerlingan letih tak membuat Sumana melunturkan simpul yang terpajang elok di bibirnya. Anak-anak berlarian ke dapur, tak lama kemudian kembali membawa nampan berisi kudapan dan minuman yang mereka siapkan sendiri saking senangnya sang ayahanda berkunjung ke Pajang.
"Hampir setahun aku tak melihat kalian, maafkan Ayahanda yang mendewakan pekerjaan hingga tak sempat kemari," ujar Sumana pada Gagak Sali dan Nagarawardhani yang duduk di sisi-sisinya. Aku menyusul mereka, mendudukkan diri di sebelah Gagak Sali.
"Ibunda di sebelahku saja!" seru Nagarawardhani yang selalu iri jika aku berdekatan dengan kakaknya.
"Tidak boleh! Ibunda milikku," bantah Gagak Sali yang menahan lenganku.
Sumana menggelengkan kepala mafhum. "Kalian ini sudah besar, masih saja suka ribut." Kemudian ia beralih hingga dua bersaudara itu berada di antara kami.
Gagak Sali sibuk menanyakan kapan ia diajak ke Keraton Paguhan sementara Nagarawardhani mendebat bahwa mereka akan menetap selamanya di Pajang bersamaku. Adu mulut kembali mengisi bilik utama Keraton, mengalahkan kicauan burung di halaman yang kemudian terdiam mendengarkan ocehan muda-mudi yang tak kunjung meninggalkan sisi kekanakan mereka.
"Di mana Ni Wuri?" Sumana mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan.
"Dia demam. Aku memberinya waktu untuk mengistirahatkan diri."
Sumana mengangguk hingga sejumlah rambut menjuntai ke hidungnya. Ia melepaskan ikat kepala birunya kemudian menyugar rambut lebat itu ke belakang. Aku tersenyum, mujur benar aku dapat memiliki sosoknya.
"Akhirnya Ibunda tersenyum," celetuk Gagak Sali, membuat wajahku terasa hangat.
Nagarawardhani ikut menaruh atensi padaku, kepalanya meneleng. "Benar. Sudah lama Ibunda tak seperti itu."
Sumana menatap prihatin padaku, agaknya paham rasanya jauh dari keluarga. Tentu aku tak lebih buruk dari nasibnya yang sejak kecil sudah jauh dari orang tuanya.
"Aku cuma merindukan kehangatan Kanda," bisikku di telinga Sumana sambil mencegah air mata terjatuh.
"Aku mengerti, Nimas jangan bermuram durja sampai kurus begini. Prabu Hayam sudah memiliki keluarga, pekerjaannya juga pasti banyak sehingga tak sempat menghabiskan waktu bersama Nimas."
"Aku sangat menyayanginya."
"Aku tahu. Tapi Nimas jangan memikirkan seseorang yang belum tentu memikirkan Nimas. Cobalah melihat kemari, keluarga kecil Nimas sedang berkumpul. Nikmatilah waktu ini, sebelum anak-anak kita punya kesibukan sendiri."
Ia berhasil menyadarkan keegoisanku. Netra yang dulu terlihat tak terselami itu tampak melunak. Sumana berbeda 180 derajat setelah menikah denganku. Namun selama ini aku tak menghargainya, memilih menatap orang lain yang kini tak begitu memperhatikanku lagi. Gagak Sali dan Nagarawardhani seharusnya cukup memberi warna pada hatiku yang kelabu tanpa Sumana di sisiku.
"Maaf, Kangmas. Berlama-lamalah di sini. Puaskan waktu Kangmas bersama kami. Maafkan aku yang kurang menghargai hal berharga di depanku."
"Mereka membicarakan apa?" Kudengar bisikan Nagarawardhani pada Gagak Sali yang mengangkat bahu.
***
Setelah sekian warsa tak melihat batang hidung Kakang Yuwana yang tak lagi menyandang gelar Patih, ia bersila di hadapan kursi kebesaranku dengan mata berapi-api yang tak luput dari pengamatanku meski ia menunduk dalam. Entah bara suka cita karena terbebas dari penjara atau bara dendam yang membuat sorotnya seperti itu.
Masa penghukumannya telah usai berkat kelonggaran yang kuberi. Selebihnya, menteri yura membacakan keputusanku bersama Patih Wesi untuk membebastugaskan Kakang Yuwana dari istana karena khawatir akan membuat onar lagi.
Sosok yang kini rambutnya sedada itu terus menunduk sampai aku beranjak dari ruang utama Keraton.
"Banyak yang berubah dari Kakang Yuwana," ujarku sembari menatap Ni Wuri yang berjalan di belakang kiriku.
"Penjara adalah bagian kecil dari Bhurloka," imbuh Patih Wesi yang berjalan di sisi kananku. Emas-emasnya berkilat memantulkan larik mentari yang masuk lewat celah atap.
"Ingsun pikir, masih mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan ingsun," seru Kakang Yuwana yang sekonyong-konyong mencekal lenganku dari belakang.
Aku memberontak, Patih Wesi sigap memukul rahangnya yang tak kalah gesit mengelak kemudian menendang perut Patih Wesi. Selagi Patih terhuyung, Kakang Yuwana menarikku kemudian merekatkan bibirnya pada bibirku. Kepalaku tersentak, menggeleng-geleng. Namun Kakang Yuwana semakin gencar menarik pinggangku untuk mendekat. Air mataku merembes seiring pekikan panik Ni Wuri yang menarik atensi para dayang.
Patih Wesi meradang, ia menghajar Kakang Yuwana sebelum lelaki bejat itu pontang-panting keluar.
"Jaga Gusti. Akan kukejar anjing itu," pesan Patih pada Ni Wuri yang sama gemetarnya denganku.
"Ni, pastikan dayang yang tahu kejadian tadi tak menyebarkan rumor," pesanku saat kami tiba di kamar.
Kemudian aku terduduk sendiri. Sumana sudah kembali ke Paguhan, anak-anak belajar di bilik lain dan aku bersyukur mereka tak melihatku dilecehkan. Kuhabiskan hari itu dengan menguras air mata, mengingat hal menjijikkan yang juga membuatku khawatir jikalau Kakang Yuwana meracuniku lewat mulutnya.
Pintu diketuk, aku menyuruhnya masuk. Kabar yang dibawa Patih Wesi membuatku kian merana. Bagaimana tubuh bugar patih itu tak dapat mengejar sosok yang baru saja keluar dari penjara? Aku melihat skeptis pada gelang-gelang di tangan dan kakinya yang selalu tampak nyentrik. Perhiasan itu tentu saja mengganggu pengejarannya.

YOU ARE READING
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Historical FictionPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...