Tiga

257 34 0
                                    

"Kak Gem sama Kak Alin nggak pulang bareng hari ini?"

Gempa mengelus kepala Taufan penuh kasih sayang. "Iya, Fan. Kakak sama Alin ada kegiatan OSIS. Kamu pulang dulu sama adik-adikmu ya?"

"Yah ..." Iris safirnya terlihat sedikit meredup, wajahnya nampak sedih karena tidak bisa pulang bareng dengan kedua kakaknya. Bukannya dia tidak suka pulang dengan adik-adiknya, dia tidak pilih kasih kok. Dia hanya menyayangkan karena dia lebih suka kalau mereka semua pulang bersama.

Tapi Taufan bisa mengerti kesibukan mereka, jadi dia kembali memasang wajah cerah dan mengangguk.

Sebuah tepukan pada kepalanya kembali dirasakan Taufan. Dia mengira itu Gempa, tapi ketika dia mendongak, dia sedikit terkejut ketika mendapati bahwa yang menepuk kepalanya adalah Halilintar. "Maaf ya. Taufan mau kakak beliin apa?"

Tipikal Alin sekali, pikir Taufan. Dia tidak akan membuat janji yang tak pasti, namun dia akan melakukan sesuatu sebagai tebusannya.

"Apa ya ..." Taufan berpikir untuk sesaat sebelum kembali menampilkan senyum cerahnya. "Pengen es krim aja deh. Beli tujuh, biar kita bisa makan bareng—oh! Sama sketchbook juga! Sketchbook punya Upan lembarnya udah habis terpakai semua."

Halilintar memberikan senyuman tipis, lalu mengangguk. "Oke, es krim sama sketchbook ya," ucapnya. Taufan hanya mengangguk, sedikit tersihir dengan senyuman sang kakak. Kakak keduanya yang satu ini benar-benar jarang memberi senyum, jadi hal ini jelas merupakan pemandangan langka untuknya.

Setelah berpamitan, Taufan melambai pada keduanya sebelum berlari kecil, takut membuat keempat adiknya menunggu. Gempa dan Halilintar membalas lambaiannya, dan ketika sosok Taufan sudah tak terlihat lagi, senyuman mereka langsung lenyap.

"Udah siap, Kak?"

Gempa yang ditanya seperti itu tersenyum dingin, kemudian mengangkat sesuatu yang ada di tangannya tanpa melirik adiknya.

Di genggamannya, layar ponselnya menunjukkan sebuah rekaman suara yang berisi suara murid-murid yang menghina Taufan di kantin tadi siang.

.𖥔 ݁ ˖.𖥔 ݁ ˖

"Maaf! Kakak lama banget ya?"

Mereka berempat mendongak ketika mendengar suara Taufan. Mereka tidak langsung membalas, melihat ke arah belakang Taufan terlebih dahulu sebelum menatapnya bingung.

"Kak Gem sama Kak Hali dimana?" tanya Duri.

"Ohh, mereka lagi ada rapat OSIS katanya, kita disuruh pulang dulu," jelas Taufan. Blaze dan Duri manggut-manggut, sementara Ice dan Solar saling melempar pandangan heran ke satu sama lain.

"Rapat OSIS? Bukannya—"

"P-Permisi ...?"

Suara seorang perempuan membuat Solar mengatupkan mulutnya. Semuanya mengalihkan atensi pada perempuan di belakang Taufan. Senyuman gugup terpatri di wajahnya, mungkin karena mendapatkan atensi banyak orang secara tiba-tiba. "Boleh ... pinjam Taufannya dulu?"

Mereka saling menatap bingung, terlebih Taufan. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" Perempuan itu mengangguk.

"Boleh kita bicara ... berdua?"

Mendengar ucapan murid perempuan itu, lampu bohlam imajiner muncul di atas kepala Blaze. Dia memahami maksudnya, oleh karena itu, dia segera menyeret ketiga adiknya yang lain menjauh. "Kak! Kita berempat pulang dulu ya, gapapa kan? Kakak ngobrol aja dulu sama ... namanya siapa ya, Kak?"

"Uhm, namaku Alisia."

"Nah, Kak Alisia boleh pinjam Kak Upan dulu," ucap Blaze, lalu melambaikan tangannya sebelum kembali menyeret tiga adiknya yang malang karena diketekin. "Dah, Kak Upan! Jangan pulang larut ya!"

Blues | [On-Going]Where stories live. Discover now