Bab 9: Sengatan

124 38 96
                                    

HARI Senin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

HARI Senin. Itu menjadi tugas pertama ekskul jurnalistik untuk meliput upacara sekolah. Anila beserta Fiza berdiri di barisan paling belakang paduan suara. Masing-masing memegang kamera kecil, yang tampak murah—meski tidak murahan. Sedangkan Gia bersama Tamam, berada di sebrang dekat deretan guru yang sedang mencatat beberapa hal—misal, amanat dari pembina upacara—yang perlu dilaporkan di mading edisi besok lusa.

Anila merasa perlu mengambil gambar yang bagus, jadi dengan sedikit gugup dia maju ke depan lapangan, berusaha mendapatkan foto keseluruhan peserta upacara. Namun, ternyata itu cukup sulit dengan posisinya. Beberapa siswa langsung memperhatikannya. Sekali lagi, ini pertama kali. Jadi, ekskul jurnalitik akan sangat mencuri perhatian.

"Sepertinya, aku perlu ke gedung perpustakaan," ujar Anila.

"Ngapain?" bisik Fiza.

"Ngambil gambar. Dari sini kurang keliatan," jawab Anila.

Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar, semua juga tahu kalau teras perpustakaan menghadap langsung ke lapangan. Dan, pasti seluruh kegiatan upacara akan masuk dalam frame kamera.

"Nggak malu, An?"

"Malu, kok," bisik Anila sambil melirik barisan uparaca di sampingnya. "Tapi, ingat kan, kita harus berusaha yang terbaik? Telan aja rasa malunya."

Anila berjalan menuju gedung perpustakaan, meninggalkan Fiza yang bergumam pelan, "Emangnya makanan huh! Nggak mudah juga."

Pemimpin upacara hari itu adalah Shaga. Tanpa dia sadari, matanya mengekori Anila ketika gadis itu melewati tangga dari lapangan ke koridor kelas. Sedangkan pembina upara masih melanjutkan pidato panjangnya. Terik matahari membuat sebagian besar para siswa menderita, merasa begitu panas—yang padahal setelah dewasa mungkin mereka merindukan momen ini. Pak Omar memperhatikan itu semua, tanpa ekspresi. Meskipun, dalam hatinya ada rasa cemas sekaligus bangga dengan murid-muridnya yang memulai suatu hal baru.

Sesampainya di lantai atas—teras perpustakaan, Anila memperhatikan lapangan. Sejenak, dia merasa hal ini sangat istimewa. Pertama kalinya Anila menyaksikan lapangan penuh dengan baris bebaris, seragam sekolah yang sama semua dan seluruh penghuni sekolah hadir di lapangan itu, tentu saja selain penjaga kantin.

Anila kemudian mencoba memotret pemandangan yang indah tersebut. Satu, dua kali, lima, bahkan sepuluh gambar dari segala macam sudut yang bisa dia coba.

"Kak Shaga," gumam Anila, saat matanya tertuju pada seniornya itu. Dia jadi pemimpin upacara lagi Senin ini, pikirnya. Sejak awal masuk sekolah ini, Shaga memang sering memimpin upacara. Tapi, kali ini Anila sangat begitu memedulikannya.

Gadis itu menyadari betapa rapi kemaja putih dan celana abu-abunya. Potongan rambutnya tidak begitu pendek tetapi juga tidak begitu bisa dikatakan panjang. Posisinya tegak, bahunya bidang, dan meskipun tidak cukup tinggi sekali—karena dibandingkan Anila, Shaga tetap tinggi—lelaki itu punya wibawa yang karismatik.

Enchanted to Meet You (COMPLETED)Where stories live. Discover now