Tiga Puluh Tiga: Cemburu

90 10 4
                                    

"Bang Genta udah pindah dua hari yang lalu, Kak," tutur seorang pramusaji yang Radika temui di Aisukurimu.

"Boleh minta alamatnya?" pinta Radika, dia gusar. Rasa malu dan salah tingkah membuat dirinya segan bertemu Genta. Kejadian lumatan pada bibirnya tempo hari membuatnya bertingkah seperti anak perawan yang malu-malu. Namun, tiga hari berlalu, kantong rindunya sudah penuh. Dia tak sanggup lagi membendungnya sampai akhirnya pagi ini Radika sudah nongkrong di Braga bahkan sejak sebelum kedai buka.

"Bang Darren, Bang Genta di cabang mana sekarang?" Pramusaji itu bertanya pada temannya. Radika menunggu dengan sabar.

Pria yang dipanggil Darren, melirik sekilas kemudian menghampiri begitu tahu yang datang Radika.

"Bang Genta kayaknya di cabang Baru hari ini. Masih berbenah dan rencana mau pasang neon box."

"Boleh minta alamatnya?"

"Dekat universitas sana, tempat adeknya kuliah. Maaf alamat lengkapnya kami pun belum tau karena cabangnya pun belum buka." Darren menjelaskan, Radika mengerti dan pamit undur diri.

Radika berusaha menghubungi Magenta melalui direct message di Instagram. Sama sekali tidak dibuka. Dia ingat di mana Kastara kuliah, tetapi di sekitar kampusnya tak ada ruko yang sedang diproses buat pembukaan kedai Aisukurimu. Radika putus asa, hampir dua jam dia mondar mandir mencari tempat itu. Hasilnya nihil.

Semula Radika tidak percaya dengan yang namanya Karma, maka mulai sekarang dia mulai percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa karma itu sedang menyapa dirinya. Dulu, Magenta selalu mengikuti kemana pun Radika pergi. Siapa pun mengira kalau Magenta bergantung padanya, jelas saja, Radika kaya, dia punya segala hal yang tidak Magenta punya.

Pada kenyataannya, Radika yang butuh dengan hadirnya Magenta. Radika yang bergantung pada Magenta. Magenta yang punya segalanya, segala hal yang tidak Radika miliki. Buktinya, saat keadaan memisahkan mereka, hanya Radika yang tampak terluka. Hanya Magenta yang terlihat baik-baik saja.

Di tempat lain, Magenta sendiri sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembukaan kedai barunya.

"Sher, ini udah beres ya. Gak apa-apa gue tinggal? Gue ada perlu ketemu seseorang."

Magenta duduk tepat depan Sherina, perempuan itu mendongak sedikit lalu menyelesaikan ketikannya sebelum fokus menanggapi Magenta.

"Aman, Ge. Barang-barang Lo udah dimasukin kamar?" tanya Sherina.

"Udah." Magenta menjawab sekenanya, dia sebenarnya lelah, matanya buram. Ada rasa sakit yang menetap sejak pagi tepat di atas alisnya.

"Ya udah, Lo kunci aja. Lo udah pucat gitu, istirahat. Jangan terlalu lelah juga, nanti malah gue yang kena omel Yuki."

Magenta mengangguk, "iya, gue ketemu temen dulu bentaran, abis itu balik lagi ke sini, gue butuh tidur."

Sherina mengernyitkan kening. Masalahnya mau tidur di mana, rumah yang akan dijadikan kedai itu pun belum layak untuk ditempati.

"Lo gak pulang ke rumah aja?"

"Enggak, nanti gue tidur di sofa itu aja. Cuma semalam aja, sampe besok gue beresin kamar." Magenta menunjuk sofa di sudut ruangan. Sofa lama yang sengaja ditinggal pemiliknya, Sherina melihat itu merasa prihatin. Magenta dalam kondisi kurang prima harus tidur di sofa berdebu. Bisa habis Sherina kena omel Yuki.

"Ge," panggil Sherina, tepat ketika Magenta berada di ambang pintu menuju keluar.

"Gue pesenin hotel, ya. Nanti gue share via wa, semuanya. Sekarang Lo ketemuan aja sama temen Lo. Kasian dia udah nunggu."

Uncrush [END]Where stories live. Discover now