👁 BUSUNG POCONG || [ Loro ]

89 9 0
                                    

👁👁
Busung_Pocong

***

Umar berjalan menyusuri pematang, dia melepas sendal kemudian menjinjingnya. Mentari bersinar terang, menembus tebalnya medut yang akhir-akhir ini ada kala pagi tiba.

Semilir angin agaknya membuat lelaki itu terbiasa, sesekali melempar pandangan jauh menyusuri persawahan. Tampak banyak buruh lain yang sedang membajak atau sekadar mengairi sawah yang sudah tertanam padi.

Setelah berjalan tidak jauh dari jalan utama, lelaki itu sampai di sepetak tanah yang penuh genangan air. Dia lekas memulai pekerjaannya yaitu mencabut bibit padi yang siap untuk ditanam.

Kegiatan tersebut biasanya dinamakan ndaut. Setelah padi disebar, biasanya menunggu selama kurang lebih 25 hari untuk mendapatkan bibit padi unggul siap tanam.

Dengan cekatan Umar mencabut bibit tersebut, dia berusaha supaya akarnya terangkat agar saat ditanam padi tidak mati.

Setelah mendapatkan dua genggaman tangan, bibit itu kemudian diikat agar tidak lepas. Biasanya petani menyebutkan ikatan tersebut dengan sebutan winih.

Kegiatan tersebut terus berlanjut, sampai matahari hampir di atas ubun-ubun. Panasnya terasa menyengat, mengkilap kulit kehitaman menandakan seberapa keras perjuangan Umar.

Lelaki itu sejak tadi merasakan jika badannya ringan, punggungnya mulai pegal membuat dia terpaksa menyudahi sejenak pekerjaannya.

Melihat bibit yang belum tercabut kurang sedikit, Umar memperkirakan jika jam 3 sore dirinya bisa pulang.

Sebelum menuju warung Mbok Nur yang berada di seberang, lelaki itu menghitung jumlah bibit yang dia dapatkan. Cukup banyak, ada sekitar 38 winih yang didapat dalam waktu setengah hari.

"Leren ... leren!" teriak seorang yang sedang mengendarai hordok.

Umar lekas menoleh, dia tertawa sembari menyapa. "Iyo, Cak No. Ngopi dulu, ayo, sampean mau ke mana?"

Karno menghentikan hordoknya di bawah pohon kersen, Umar lekas mendekat bermaksud mengajak pak lek-nya untuk makan siang bersama.

"Peno ndaut punya siapa?" tanya Karno memerhatikan petak sawah yang dikerjakan Umar.

"Punya Pak Bagio, tinggal sedikit sebenarnya. Cuma aku laper banget, mau tak tinggal ke warung Mbok Nur."

Karno mengangguk semangat. "Yo, wes, ayo. Aku ikut, mau ngopi."

"Sampean dulu, aku mau basuh kaki sek."

Karno tidak menghiraukan perkataan Umar, dia menyuruh agar keponakannya itu membersihkan lumpur di kaki dan tangannya lebih dulu.

Umar pun tidak bisa memaksa, dia lekas turun ke sungai kecil yang ada di dekatnya. Sungai tersebut airnya cukup banyak, karena memang digunakan untung mengairi sawah.

Saat menunduk untuk membersihkan kedua kakinya, mendadak Umar merasakan kepalanya sangat ringan. Jantungnya berdebar cepat juga ada rasa panas menusuk di dada yang menyebar ke leher belakang. Napas lelaki itu memburu, pandangan menggelap membuat dia langsung tersungkur ke sungai.

Karno yang melihat sangat terkejut bahkan dia melepaskan hordoknya begitu saja. Hal itu membuat suara bising yang menarik orang-orang di warung Mbok Nur untuk mendekat.

"Tolong, Umar pingsan!"

Hampir semua orang yang ada di sawah berlari mendekat, mereka membantu Karno untuk mengangkat Umar keluar dari sungai.

"Kok bisa begini bagaimana ceritanya, No!"

Karno masih terkejut, badanya bergetar bahkan dia bingung saat menjawab pertanyaan dari Irul. "Aku ndak ngerti. Sumpah, barusan aku sama Umar bicara loh, tapi kok jadi begini!"

Setelah Umar berhasil diangkat dari sungai, mereka mencoba menyadarkan lelaki itu. Dipanggilnya Umar dengan suara kencang bahkan badannya digoyang, pipinya juga ditepuk-tepuk. Namun, tidak ada tanda-tanda lelaki itu tersadar.

"Piye iki terusan?" tanya Karno.

Mbok Nur yang ada di sana mengatakan, "Coba dicek itu, tangane. Masih berdenyut apa ndak."

Irul cepat mengambil sebelah tangan Umar, kemudian memeriksa denyut nadinya. Cukup lama lelaki itu menekan jarinya di sekitar pergelangan tangan.

Sampai-sampai Karno tidak sabar ikut memeriksa juga di leher. Raut tegang jelas terlihat, tetapi lelaki itu takut untuk sekadar mengutarakan apa yang dia tahu.

"Piye, Rul?" sahut Karno. "Serius, ta, ini?"

"Bagaimana, ada endak denyut nadine?" tanya Mbok Nur.

Irul lekas menggeleng. "Denyutnya ndak ada, Bang Umar meninggal."

"Innalillahi."

***

👁👁
Busung_Pocong









👇🏻 Jangan Lupa, ya, tinggal pencet.

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongWhere stories live. Discover now