👁 BUSUNG POCONG || [ Limo ]

71 9 0
                                    

Disarankan untuk dibaca malam hari.

👁👁
Busung_Pocong

***

Karno mengayuh hordok dengan cepat, dia dikejar waktu untuk sampai di rumah Pak Dahlan. Letak rumah mantri tersebut berada di dusun tetangga, dia membutuhkan waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk sampai.

Jalan yang dilalui pun terjal, dengan kanan dan kiri persawahan tebu. Di setiap jalan sebenarnya ada rumah warga, tetapi jarak dari satu sama lain tidak terlalu dekat.

Jalan bebatuan membuat laju roda hordok sedikit melambat. Meskipun beraspal, karena sering dilalui truk pengangkut tebu membuat jalan tersebut terkikis kemudian menjadi rusak.

Lelaki baya itu sampai di rumah Loji milik Pak Dahlan, cepat-cepat Karno menjagang sepeda di bawah pohon rambutan.

Meskipun pintu rumah terbuka lebar, suasana yang sepi membuat Karno agak sungkan. Dia memijak teras, lalu berhenti di ambang pintu.

"Assalamu'alaikum, Pak Dahlan!"

Tok!
Tok!

"Assalamu'alaikum."

Derik pintu terdengar samar, disusul dengan jawaban salam dari dalam. Tidak lama muncul lelaki tua yang sebenarnya sudah pensiun dua tahun lalu sebagai mantri di Puskesmas Witjati.

"Sinten nggeh?"

Karno tersenyum, kemudian menjabat dengan hikmat. "Saya Karno, dari dusun Witrandu. Maaf sebelumnya, Pak, saya merepotkan sebentar."

"Iya, ndak apa-apa. Mari, masuk dulu."

"Matur suwun, boten usah, Pak. Di sini saja, soalnya ini mendesak sekali," tolak Karno, kemudian dia kembali berkata, "begini, keponakan saya tadi jatuh di sawah. Sekarang dia tidak sadarkan diri, mau saya bawa ke puskesmas, sayangnya tidak punya kendaraan. Jika Pak Dahlan tidak berhalangan, bisa bantu, Pak?"

Dahlan mengangguk mantap. "Insya Allah, bisa. Sampean ke sini pakai apa?"

"Hordok, Pak."

"Ya, sudah. Saya siap-siap dulu sebentar, nggeh."

***

Setelah menungu Pak Dahlan bersiap, mereka pun pergi menuju rumah Umar. Karno memimpin jalan dengan mengayuh hordok lebih cepat, sedangkan Pak Dahlan menaiki motor C70 yang asapnya tipis keluar.

Matahari telah condong ke barat, sinarnya masih bisa membuat kulit memanas. Bersyukur, semilir angin bisa sedikit menghalau. Sebagai gantinya, Karno harus mengayuh dengan tenaga lebih dalam.

Tidak membutuhkan waktu lama, deru motor Pak Dahlan membuat warga yang masih di sana menoleh serentak.

Lelaki tua itu lekas masuk diikuti Karno, dia langsung melihat Umar yang terbujur di dipan dalam keadaan tidak bernyawa.

Sebagai mantri puluhan tahun, Pak Dahlan ahli dalam masalah seperti ini. Melihat dari warna tubuh yang mulai kehijauan saja, bisa dipastikan Umar meninggal lebih dari dua jam.

Narsih cepat berdiri, dibantu Wati dia berjalan mendekati Pak Dahlan. "Tolong, tolong suami saya, Pak."

Pak Dahlan menghela napas, raut wajahnya menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dengan takdir yang sudah terjadi.

Namun, lelaki tua itu tetap mengangguk. Kemudian melaksanakan tugasnya sebagai mantri.

Mereka yang ada di ruang tamu tampak memerhatikan Pak Dahlan kala memeriksa, begitu juga warga yang ada di luar. Jelas sekali mereka tampak dari jendela berkelambu usang, mengintip dengan wajah penasaran yang besar.

"Peripun, Pak?" tanya Karno.

Pak Dahlan menghela napas, beliau membenarkan letak kacamatanya. "Anak ini sudah meninggal sejak beberapa jam yang lalu."

"Innalillahi wainnailaihi rojiun."

Azan Asar dari masjid terdengar menggelegar, bersama itu juga tubuh Narsih lunglai terjatuh tidak sadarkan diri.

Wati dibantu Simah dan Mirah menggotong Narsih yang pingsan ke kamar, sedangkan Haji Ilyas memberitahukan warga yang ada di sana untuk mempersiapkan pemakaman Umar.


👁👁
Busung_Pocong









👇🏻 Pencet, rek!

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongWhere stories live. Discover now