Fitnah

4 0 0
                                    

Sampai kapanpun
Air mata yang belum kering,
tidak bisa di sangkal
--bahwa dia bukan hasil tangisan.

~Abbas

Ana. Gadis berjilbab hitam yang memegang lap di tangannya itu menghela napas sebal. Sesekali dia mengeluarkan keluh dalam hati. Pasalnya, sepagi ini dia sudah di ajak ribut. Katanya dia sudah di keluarkan dari kedai tempatnya bekerja saat ini.

Untung saja dia tidak percaya begitu saja. Ya, meski harus berdebat lama terlebih dahulu. Setidaknya, dia tidak menyerah sampai akhirnya Pak Bos datang dan mengatakan yang sebenarnya.

Sembari mengelap, Ana lagi-lagi bergumam dalam hati.

Mana aku belum punya temen dekat lagi. Adaptasiku ini pasti masih cukup lama. Apalagi orang-orangnya banyak yang nggak care. Kira-kira ada yang bela aku nggak ya, kalau aku di pecat?

Ana mengambil napas panjang, menghembuskannya perlahan. Pekerjaannya pagi ini sudah selesai. Tinggal menunggu pelanggan saja.

Seharusnya dia mempunyai kesempatan mengobrol dengan temannya, tapi dia belum punya. Nasib orang yang nggak mudah beradaptasi.

"Mbak!"

Eh! Siapa yang manggil?

"Iya?" Ana menyahut sambil menoleh ke sekitar.

Seorang wanita cantik berwajah oval -- petugas kasir, melambaikan tangan ke arahnya. Ana mendekat. Dia baru ingat, wanita ini satu-satunya yang selalu bersikap ramah kepadanya. Meskipun, tetap terhitung jarang ngobrol, tapi tidak jarang Ana di sapa olehnya.

Di ajak berbincang, Ana menanggapi sebisanya. Sepuluh menit di hadapinya pertanyaan-pertanyaan random yang di ajukan wanita cantik itu. Sesekali dia balik bertanya dengan pertanyaan senada. Namun, lama kelamaan, bosan juga dia. Beruntung, seorang pelanggan masuk ke dalam. Ana beralasan hendak menyambut dan mencatat pesanannya.

"Mau pesan apa, Mbak?" tanyanya selepas sejenak membiarkannya mengamati daftar menu.

Wanita yang sepertinya seumuran dengannya itu menempelkan telunjuknya di dahi. Keningnya mengerut kebingungan. Ana menggenggam pena di tangannya erat-erat, ingin lekas mencatat dan pergi dari sini.

"Mm..ini dan ini."

Ana mendekatkan tubuhnya untuk melihat apa yang di tunjuknya. Mencatat dengan cepat, Ana pergi ke belakang selepas mengucapkan 'mohon di tunggu'.

"Aku ke toilet dulu, Zaid!"

Zaid mengacungkan ibu jarinya, meneruskan pekerjaannya. Ana berbalik, melangkah ke toilet di belakang. Bicara soal toilet, Ana termasuk orang-orang yang suka melamun di sana. Inspirasi, halu, atau apa saja bisa terpikir tiba-tiba jika dia berada di sana.

"Ana tadi ke toilet, Pak!" Seseorang berseru hingga suaranya terdengar di telinga Ana.

Memasang wajah santai, Ana keluar dengan pura-pura tak mendengar suara tadi. Dia berjalan agak cepat menuju ke depan, melewati Pak bosnya yang berdiri tegak di samping Zaid.

"Ana! Berhenti!" perintahnya dingin.

Ana patuh, berhenti di tempatnya dan berbalik menghadap lelaki itu. Diam cukup lama, Ana tidak mendengar apa-apa.

"Ada apa, Pak?" tanyanya tanpa rasa bersalah, karena dia memang tidak berbuat salah apa-apa.

"Kenapa lagi?"

Ana mendongak, menunjukkan raut kebingungannya. Lelaki itu menatapnya dingin. Ana di buatnya membeku di tempat, tak mampu berucap ataupun sekedar bergerak. Hening sejenak sampai akhirnya Zaid melanjutkan pekerjaannya meracik bahan makanan.

Not Chilling TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang