2. Parasit

102 55 14
                                    

"Paham kamu, Jian?"

Jian hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tangan kiri sambil menyimak penjelasan Pak Rama. Sepuluh menit duduk berhadapan dan mendengarkan penjelasan secara private sungguh membosankan.

"Kalau begitu coba kamu kerjakan soal yang ini!" Pak Rama mengangsurkan sebuah buku yang menampilkan halaman soal di depan Jian.

Dengan ogah-ogahan Jian mulai mengerjakan soal yang dimaksud. Cewek itu melotot saat mulai membacanya.

"Apa-apaan ini, Pak? Tadi contohnya nggak gini. Ini soalnya kok beda?" Jian berseru kesal.

"Ya kalau soalnya sama, nanti nggak mengasah otak kamu, dong," sahut Pak Rama dengan nada santai.

"Wah, mana bisa gitu, Pak? Yang dijelasin Bapak, kan, contohnya nggak gini? Ini mah udah susah tahapannya, Pak," ucap Jian dengan nada protes.

"Sudah, kerjakan dulu, Jian! Saya mau lihat kemampuan kamu." Pak Rama menyandarkan punggungnya di kursi sambil melipat tangan di dada.

Jian menggores kertas kosong menggunakan pensil dengan kasar. Ia mulai mengerjakan soal yang diberikan Pak Rama. Wajahnya bersungut-sungut saat mencoba memahami soal itu. Ia heran, saat Pak Rama memberikan penjelasan tadi ia masih bisa paham, tetapi kenapa saat diberikan soal yang baru ia masih kesusahan mengerjakannya. Rasanya otaknya akan meledak berhadapan dengan deretan angka dan huruf di soal.

"Begini bagaimana, Pak?" Jian menyerahkan lembar jawaban yang penuh coretan ke Pak Rama. Namun, bukan sambutan jawaban Pak Rama yang ia dapat. Melainkan dengkuran halus dari guru paruh baya di depannya.

"Bapak?" ucap Jian pelan sekali lagi.

Melihat tak ada respon dari Pak Rama, Jian mendadak memiliki ide. Cewek itu pelan-pelan beranjak dari meja Pak Rama dan berjalan keluar kantor guru.

"Fyuuuuh ...." Jian mengusap dahinya pelan. "Apa-apaan tadi. Yang dikasih contoh apa, yang dikasih soal apa. Gila emang! Buang-buang waktu aja."

Jian menggerutu begitu sudah di luar kantor guru. Waktu istirahat sudah berlangsung sekitar sepuluh menitan. Itu artinya masih ada sisa dua puluh menit baginya untuk ke kantin menyusul Dirga dan menagih ajakan cowok itu untuk makan mie ayam bersama.

Dengan langkah tergesa-gesa, Jian berjalan menyusuri koridor untuk menuju kantin. Namun, perhatian Jian teralihkan saat ia mendengar suara dari segerombol adik kelas yang duduk tak jauh dari koridor sekolah.

"Eh, tadi aku papasan sama Mas Dirga di kantin. Tumben banget dia nggak sama Mbak Jian. Biasanya tuh cewek nempel mulu kek perangko."

Jian seketika memelankan langkah demi mendengar lebih lanjut suara dari cewek-cewek yang tak lain adalah adik kelasnya.

"Iya, padahal pacar aja bukan. Kok enggak malu ya? Kalau aku, malu jadi kek kegatelan," sahut cewek dengan name tag Elviana di seragam putih miliknya.

"Eh, tapi kalian tahu nggak? Tadi aku denger Mas Dirga mau daftar lomba bareng Mbak Mala nanti pulang sekolah. Kamu tahu Mbak Mala, kan? Mereka cocok banget tau. Sama-sama pinter lagi."

"Yang bener kamu, Imas? Wah, kalau Mas Dirga sama Mbak Mala aku sih dukung banget. Cocok. Dari pada sama tuh cewek gatel," balas Elviana pada cewek yang dipanggil Imas. Sementara Imas dan temannya yang lain terlihat mengangguk setuju menanggapi ucapan Elviana.

Tangan Jian terkepal kuat mendengar ucapan dari adik kelasnya itu. Ia lalu mempercepat langkahnya untuk mendatangi mereka.

"Siapa si cewek yang gatel sama Dirga itu adik-adik?" Jian merangkul Elviana dan Imas dari belakang. Senyum datar tersungging dari wajahnya.

Lara di Ujung Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang