4

386 57 4
                                    

🎲🎲🎲












...

"Dua puluh tujuh kasus anak hilang, lima kasus orang dewasa hilang. Kebanyakan itu perempuan. Penggelapan dana, pengedaran obat terlarang. " Deva menggeleng geleng dan meringis. "Dari pusat minta kita cepet usut ini. Lo mau gerak kapan, Bos? Ini kasus nambah korban tiap bulannya. "

Mungkin bunyi sendok dan mangkuk yang beradu, menjadi satu satunya suara yang ada selama lebih dari 15 menit. Tentunya selain suara Deva yang tadi menyerukan kalimat kalimatnya.

"Minggu depan gue balapan di Brazil. Final, Dev. Hadiahnya pulau disana. " Ucap Shagama yang masih menatap makanannya di mangkuk.

"Ha? " Devan sedikit menganga tidak menyangka dengan respon sahabatnya itu. "Serius lo masih ngurusin balapan? "

"Iya, hadiahnya besar kali ini. "

Deva dengan lantang melempar sebuah tablet yang sedari dia pegang ke atas meja. Tangannya memijat keningnya yang berdenyut nyeri. Ingin melawan, tapi Shagama yang memberinya gaji.

"Lo sadar gak sih?! Mabok lo?! Anjing, ini udah lima bulan!! Makin lo nunda, makin banyak korban yang jatuh!! "

Deva mendekat ke arah Shagama. Menarik kerah baju lelaki itu dengan sungguh sungguh. Hingga Gama kini menatap sepenuhnya pada Deva. "Inget, mereka yang udah bikin nyokap lo meninggal!! "

Shagama menutup matanya. Rahangnya memgeras begitu mendengar perkataan Deva padanya. Luka hatinya dipaksa dibuka, padahal belum sembuh sama sekali. Tapi Deva juga tidak bisa disalahkan dalam hal ini.

"Jangan lalai, Gama. Gue tau lo selalu takut kalo ini menyangkut nyokap lo. Tapi kita gak bisa biarin orang yang salah bebas gitu aja. " Deva menghela napasnya berat, lagi.

Shagama dan Elgara, keduanya mempunyai satu kesamaan yang mutlak.

Keduanya masih selalu takut, jika itu menyangkut Ibu mereka. Mereka selalu tidak bisa mengendalikan ketakutan itu, dan berakhir dengan diabaikannya misi utama mereka.

Ah iya, bukan tidak bisa, tapi belum.

Belum ada yang bisa meyakinkan kedua orang itu, bahwa yang salah harus dihukum dengan seadil adilnya.

.
.
.

"Ganti bunga bunga yang ada di semua ruangan rumah ini. "

Orang yang diketahui adalah kepala pelayan di rumah itu mengangguk saja. Memperhatikan apa yang Tuannya katakan dengan seksama, agar tidak melakukan kesalahan apapun.

"Semuanya. Pastikan semua bunga nya segar dan indah. Jangan lewatkan satu pun ruangan. Juga bersihkan kamar saya, tata kembali barang barangnya dengan hati hati. "

Sementara Elgara, lelaki itu hanya duduk tenang di kursinya. Menghiraukan percakapan antara sang Ayah dan kepala pelayan itu. Lebih tepatnya, sengaja untuk menghiraukan.

Tidak penting—

"Termasuk yang ada di kamar saya dan Gara. Semua bunga yang ada di rumah ini, harus diganti yang baru. "

Elgara menghentikan kunyahannya. Menatap sang Ayah dengan wajah datar, sedatar datarnya. "Kamar saya jangan dimasuki. Biarkan semuanya saya yang atur. "

Huda menatap putranya, dengan salah satu alis yang dia angkat. "Kamu mau bersihin kamar kamu sendiri? "

Gara dengan cepat mengangguk. "Iya, biar aku yang bersihin sendiri. " Kemudian menatap kepala pelayan itu dengan seksama. "Jangan masuki kamar saya. Beri tahu yang lainnya. "

SIMFONIWhere stories live. Discover now