[ 𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝐢𝐢 ] 𝐬𝐢𝐦𝐛𝐢𝐨𝐬𝐢𝐬

85 16 12
                                    

Kamis disapa dersik gerimis—awalnya begitu—sampai ketika sebuah bus berhenti tepat di depan bangunan wiyata mandala tiba-tiba hujan turun tanpa aba-aba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamis disapa dersik gerimis—awalnya begitu—sampai ketika sebuah bus berhenti tepat di depan bangunan wiyata mandala tiba-tiba hujan turun tanpa aba-aba.

Menguyur buana dengan intensitas tak kepalang deras, bagai tangis yang sudah lama ditahan-tahan untuk tidak merembes. Tetapi, pada akhirnya tumpah juga karena terlalu memaksakan diri untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Benar, semesta juga ada kalanya jatuh dan terluka. Merasa semua sedang tidak baik-baik saja. Karena, faktanya kesedihan memang bersifat relatif. Siapa saja, apa saja, bisa merasakannya.

Beralih menilik realita, di awal tahun menghabiskan tanggal si bulan sulung, wajar jika hujan datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sebab, cuaca memang sedang beranjak pada perubahan musim dampak tekanan dan embusan angin muson. Siklus tahunan.

Lebih dari itu, Hayila dengan kebiasaan buruk yang tidak pernah berangsur membaik—lupa membawa jas hujan atau payung—sekadar bersandar lunglai pada kaca, menatap kurang berminat pada sekitar yang dimakan guram.

Deru rinai jatuh, sempurna tersamarkan alunan lagu dari 𝘦𝘢𝘳𝘱𝘩𝘰𝘯𝘦 yang semula putih berubah menjadi pudar mendekati kelabu. Maklum, sudah usang dimakan waktu.

Sambil menunggu penumpang lain turun satu persatu, Hayila rogoh ponsel pada saku jaket parasut sewarna biru. Ikut mengantri pada barisan paling belakang, utak-atik gawai pintar demi temukan instrumen favorit, menunggu giliran keluar dengan tertib.

Pula, mempersiapkan diri terobos siraman lebat dari langit dengan menaikan resleting sampai perpotongan leher dekat dagu, amankan tas dalam baju, ikat tali kupluk, antisipasi agar tidak terlepas dan rambut ikut basah ketika berlari masuk kelas. Membikin kepala pusing, masuk angin.

Sebenarnya, cuaca lembab, becek, tidak bersahabat, atau suhu mencapai minus seperti ini apabila turun di waktu tepat itu layak dinikmati. Selaras semat julukan anugerah.

Utama, hari senin yang identik dengan kegiatan wajib upacara bendera dan infeksi ketertiban atribut, jelas akan mendapat kalimat penuh syukur sebagai ayat sambut. Berbeda cerita ketika hari-hari biasa, genangan dimana-mana benar-benar merepotkan.

Lebih-lebih, tidak sengaja terinjak karena salah ambil jalan, sepatu putih terancam dimanja lumpur dan kotor. Paling menyebalkan, terkena cipratan langkah-langkah para makhluk ceroboh atau sopir yang membawa laju kendaraan secara ugal-ugalan. Masalahnya bukan sok si paling bersih, tetapi susah kembali kering.

Tiba pada giliran, sejenak Nirbita hela napas di ambang pintu bus. Berdoa supaya air tidak kurang ajar merembes masuk, berani basahi semua buku tugas. Andai hal itu terjadi, Hayila secara resmi mendeklarasikan diri, jika dia benci hujan.

Karena, bukan hanya sekali dua kali dia membuat peralatan tulis rusak dan berjamur. Sudah sering, sampai Hayila tidak bisa menghitung harus sesering apa dia mengecek. Padahal, masalah inti bukan karena hal tersebut, tetapi sikapnya saja yang kelewat teledor.

[√] enigma; kim leehan boynextdoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang