[ 𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐱𝐱𝐢 ] 𝐩𝐨𝐫𝐭𝐚𝐥 𝐭𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 [𝐞𝐧𝐝]

11 11 8
                                    





─── ・ 。゚☆: ٭.☽ .٭ :☆゚˙∙ ───






“Akara?”

Ketika sisa cerai-berai kesadaran kembali teruntai menjadi satu bagian sempurna, Lingga sudah berada di emperan bekas toko minim cahaya. Merta bau amis menyeruak, mendobrak paksa syaraf-syaraf sensitif indera pembau untuk bereaksi—bersumber seragam putih berselimut bercak yang entah sejak kapan sudah berubah warna menjadi pekat, dan Hayila dalam radius tiga meter menyeret jasad menuju kearahnya.

Layak mesin proyektor, Lingga merekam sekeliling, linglung. Atmosfer sekitar cukup familiar—ujung gang buntu dengan pencahayaan temaram yang kerap dia lewati guna ambil jalan pintas usai antar Hayila pulang sekolah.

Apakah semua ini adalah bunga mimpi?

Sekadar halusinasi?

Adegan berdarah-darah di hadapan persis seperti naskah mentah dalam kepala usai mata terpejam, yang selalu Lingga bayangkan bisa berlakon di dalamnya guna tuntas segala rumpang sampai rampung.

Lingga tidak bisa berpikir jernih, semua nampak keruh. Paling parah, kepala mendadak sakit luar biasa sebab tiba-tiba datang segerombolan suara riuh, dipenuhi rintih orang-orang berwajah aneh. Berdesak-desakan, memenuhi setiap rongga sampai rasanya seperti akan meledak detik itu juga.

“Nirleka? Kenapa?” Hayila panik, enyahkan mayat yang digeretnya sembarang. Khawatir terjadi sesuatu kepada si taruna yang seperti tengah berjibaku dengan sesuatu, semu.

Di tengah pergelutan itu, separuh benak Lingga yang belum diterkam siksa mendadak bertanya-tanya; mengapa suara Hayila terdengar sangat nyata untuk sekadar disebut bayangan maya belaka?

Pula, reaksi berkala yang timbul ketika menjambak rambut sekuat tenaga atau membenturkan tengkorak belakang pada dinding besi berkarat hasilkan rangsangan begitu perit?

Sampai, satu sentuhan pada bahu, menarik semua gelora rancu. Lantas, usapan meraki pada wajah buatnya mendongak, dengan pandangan berkaca-kaca, jelaga berlabuh pada retina bening empunya Hayila—tanpa kata, seolah mampu lantang wakilkan frasa, bahwa semua akan baik-baik saja.

“Ini bukan mimpi, kan?”

Langsung mendapat gelengan, kemudian pelukan. Menyadarkan Lingga akan satu hal, bersamaan pula gulungan film dalam memori yang terputar abstrak.

“Aku sudah menghubungi kakekmu, dan sebentar lagi orang-orang suruhan kakekmu akan datang membereskan Hankala.”

Tatapan Lingga berangsur hampa, kosong melompong. Dada berdegup kencang, dia terdiam beku menatap seonggok mayat terbujur kaku. Kening mengernyit. “Aku yang bunuh dia?” Terlontar begitu saja usai menangkap sebuah benda tak asing tertancap pada punggung seseorang yang terbaring telungkup—pisau yang diam-diam sering Mama gunakan menyayat apapun, termasuk kucing dan anjing peliharaan tetangga sebelah rumah. Dan Lingga yang acapkali menangkap basah hanya diam saja. Sebab, Mama selalu bilang, itu adalah ganjaran bagi makhluk tak berguna yang hanya bisa buang kotoran di halaman orang sembarangan.

“Jangan bertanya itu dulu, ya.” Hayila semakin eratkan pelukan. Sedang, Lingga yang tidak dapat alihkan pandang dari objek mengerikan di depan. Ada begitu banyak pertanyaan bersarang sekarang.

“Kenapa?” Seraya bibir utara perasaan kejut bercampur tak percaya, Lingga berusaha mengais-ngais kembali sisa keping-keping sebelum tidak sadarkan diri. Namun, tidak ada ingatan apapun tersimpan dalam memori. Seperti terhapus otomatis tanpa jejak apapun. Padahal, Lingga ingat dia melakukan apa sebelumnya—kendati tidak tahu apa yang diperbuat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[√] enigma; kim leehan boynextdoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang