Sect. I: ー

153 28 12
                                    

Seorang siswa berlari dengan kencang, ia mengejar waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul tujuh tepat. Jika dirinya terlambat lagi, maka sudah di pastikan ia tak bisa mengikuti ujian akhir sekolah.

Detik-detik terakhir ia melihat gerbang hendak ditutup, di saat itu juga dengan memaksimalkan kecepatannya dan akhirnya berhasil masuk ke gerbang.

Tapi ada satu masalah lagi, ia masih harus berlari ke ruangan kelasnya yang cukup jauh dari gerbang utama sekolah.

Maka dengan tanpa pikir panjang ia berlari lagi untuk kesekian kalinya tanpa menghiraukan para siswa yang menatap dirinya.

Sesampainya di kelas, ia duduk di kursinya dengan terengah-engah. Padahal masih pagi, tapi pemuda itu sudah berkeringat parah.

"Terlambat lagi, Hali?" Seorang temannya yang berada di bangku depan menoleh ke arahnya seraya menopang dagu.

"Oh, diamlah Fan! Kau gak tahu perjuanganku untuk pergi ke sini hanya karena nilai!" Blaze berdecak kesal.

Yang dipanggil Taufan terkekeh geli. "Terus kenapa kau terlambat, bodoh? Untung saja hari ini bukan Gempa yang bertugas."

Halilintar berdecak kesal, baru saja ia ingin menjawab, tiba-tiba dirinya dirangkul oleh seseorang yang menyebalkan bagi dirinya.

"Aku yakin dia terlambat karena sibuk memainkan game resident evil itu. Ughーbayangkan ketika kau harus melawan para zombie jelek seperti itu."

"Ya nggak, lah! Aku sibuk urusin kedainya Tok Aba tadi pagi." Halilintar membuat tatapan datar ketika orang itu berbicara lagi.

"Oh! Oh! Pernah gak kalian berpikir, kalau di dunia ini bakalan ada makhluk aneh kayak gitu?"

Taufan tertawa lagi. "Mulai deh, Blaze."

Yang dipanggil Blaze meneruskan ocehannya tentang zombie, dan sebagainya. "Aku serius! Kalian juga tahu kan kalau ada parasit yang mengendalikan sebuah siput? Lalu, aku juga pernah lihat di konten tiktok tentang kota zombie!"

"Itu benar. Tapi parasit yang kau bilang itu hanya menginfeksi hewan, sialan. Apakah menurutmu kita ini hewan?" Halilintar berdecak kesal dengan omongan Blaze yang tidak masuk akal. Ia juga melepaskan rangkulan Blaze di lehernya.

"Ah, ayolah! Bagaimana dengan kota zombie?"

"Itu hanya sekumpulan orang yang mengkonsumsi narkoba secara berlebihan, Blaze. Kurasa kau harus memperbanyak minat literasimu agar tidak menelan mentah informasi yang ada." Bukan suara Taufan, bukan juga suara Halilintar.

Itu Gempa, yang menunjukkan senyumnya yang menyeramkan. "Baiklah, aku tidak ingat ada yang namanya Blichter Azerion di kelas dua belas ipa ini?" Ia melipat tangannya di depan dada membuat yang di panggil Blaze berkeringat dingin.

"Ahaha, aku cuma lagi ngobrol dengan kakak kelasku, bukan begitu Hali?" Blaze menyenggol Hali meminta pembelaan, tapi sepertinya pemuda itu bahkan tidak tertarik untuk menolongnya.

"Yep. Kau berbohong, lebih baik keluar dari sini sekarang dan pergi ke kelasmu sendiri, ujian akan dimulai." Mendengar ucapan mutlak Gempa, Blaze segera pergi dari kelas itu dan menuju kelasnya sendiri. Takut jika dirinya harus mengalami masalah dengan sang ketua osis sekolah.

'Bocah aneh.'

Sebenarnya, Halilintar mengenal Blaze lewat tongkrongan-nya sehari-hari. Itupun sebatas kenalan, tapi siapa sangka lelaki yang lebih muda darinya itu malah makin mendekat kepadanya, Blaze jadi sering berkunjung ke kelas Halilintar dan berbual apapun yang menurutnya menarik, tipikal orang ekstrovert akut, berbeda jauh dengan Halilintar. Meskipun begitu, Halilintar sebenarnya tidak masalah berteman dengan Blaze, bahkan ia juga tidak ambil pusing saat sang adik kelas tidak menyebutnya dengan sebutan 'kak', karena menurutnya itu aneh.

AdamantWhere stories live. Discover now