BAB V, AKhir Bahagia yang Diimpikan

5 3 0
                                    

Gracia mengunci pintu di belakangnya, menjatuhkan apapun yang ada di tangannya ke lantai hingga akhirnya dirinya pun terperosok bersama semua barang-barangnya.

Ia meringkuk di lantai dingin dalam apartemen yang sepi. Membenamkan wajahnya ke dalam pangkuannya, menahan rasa sesak di dada yang tak kunjung mereda. Air mata tak lagi mengalir, tapi hatinya tak juga membaik. Justru semakin buruk sejak ia bertemu Demian kembali. Diam-diam mengutuk dirinya karena mendengarkan omong kosong Demian meski ia tahu itu hanya alasan untuknya kembali padanya.

Demian pergi tanpa meminta apapun darinya selain kata maaf. Gracia sadar, jauh di lubuk hatinya, ia berharap Demian akan memintanya kembali. Ia ingin kembali. Tapi sayangnya ia tidak cukup bodoh untuk itu.

Ia tahu betul betapa manis semua kata-kata yang Demian katakan, tapi tak semua bisa dipercaya. Itu pula alasan mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk saling membuka hati.

Tubuhnya menggeliat, membentuk bola. Mencoba memeluk seluruh tubuhnya sendiri, berharap rasa sakit ini akan segera mereda.

"Gimana keadaan lo, Grace?" suara yang terdengar familiar berjalan mendekati Gracia yang mematung di hadapan kaca besar dengan pemandangan perkotaan di baliknya.

Gracia menoleh dan menemukan Freya di sana, "I'm fine." jawabnya singkat seraya berpikir sejak kapan ia berada di studio? Sejak kapan hari sudah berganti? Hal terakhir yang ia ingat adalah pertemuannya dengan Demian.

Gracia melirik ke arah Freya yang masih menunggunya bicara lebih lanjut, "Demian datang ke apartemen gue kemarin." ujar Gracia selagi memperhatikan reaksi Freya.

"R-really?" balasnya canggung. Ia bahkan menolak menatap mata Gracia yang terus mengikuti setiap pergerakan kecilnya hingga akhirnya ia menyerah, "Fine. Gue yang minta dia datang. Gue cuma berpikir kalian butuh bicara se-enggak-nya sekali."

Gracia hanya mendesah berat dan menyeruput kopi panas yang sudah menjadi dingin yang sedari tadi ada di tangan kanannya.

"Maaf, Grace. Apa dia macem-macem ke lo?" Nada Freya terdengar khawatir dan bersalah.

"Nggak. Gue cuma sadar beberapa hal," Jemari kakinya mengerut, "ternyata gue gak sekuat yang gue kira."

Freya menatap Grace sedih dan menariknya ke dalam rangkulannya, "It's ok. Demian bukan laki-laki biasa di hidup lo. Wajar banget kalau lo susah lupain dia." Freya memberi tepukan kecil di bahunya, "gue di sini."

Tapi semenjak hari di mana Demian kembali, Gracia seolah kembali menjadi dirinya yang semula. Ia kembali ke titik di mana Demian masih memegang seluruh bagian dari dirinya.

Ini adalah putaran ke tiga nya Gracia mengelilingi taman di mana ia biasa jogging di malam hari. Nafasnya nyaris menghilang, tapi bayangan Demian masih jelas di kepalanya. Ia merasa gila. Hari-harinya berlalu tanpa sedetik pun Demian pergi dari bayang-bayangnya. Dan kini ia bahkan tidak bisa lagi menghitung hari.

Gracia menghentikan jogging malamnya ketika ia mulai sadar bahwa itu sia-sia. Ia menopang tubuhnya di lututnya, menarik udara sebanyak mungkin untuk paru-parunya ketika tetesan keringatnya bercampur dengan tetesan dingin dari langit.

Kesialan apa lagi ini? Pikir Gracia selagi mendongakkan kepalanya ke langit yang mulai menjatuhkan tetesan-tetesan yang lain, menimpa wajahnya.

Ia harus berlari mencari tempat berteduh, tapi tubuhnya enggan mengikuti logikanya. Ia justru berjalan santai sambil menikmati tiap tetesan hujan yang membasahi tubuhnya yang penuh keringat, tahu betul akan konsekuensinya, tapi ia tidak peduli.

Setiap langkah yang ia pijak membawanya ke dalam kenangannya bersama Demian di tempat ini. Bagaimana mungkin tak ada satu jengkal pun dari dunianya tanpa kehadiran Demian? Gracia sudah muak dengan bayang-bayang ini. Masih dengan nafas yang terengah, Gracia kembali berlari kemanapun kakinya membawanya, berharap semua bayang nostalgia itu berhenti mengikutinya.

Air mata menggenang di matanya, bercampur dengan hujan yang mulai lebat. Matanya terasa perih karena tetesan hujan yang terus memukul wajah dan matanya, tapi ia tetap berlari dan berlari.

Di sisi lain, Demian selesai dengan seduhan kopi panasnya, memperhatikan hujan yang semakin lama semakin lebat. Ia tidak terlalu menyukai hujan. Di telinganya, gemericik hujan terdengar memekakkan telinga. Dan untuk beberapa alasan, hujan membuatnya lebih melankolis dibanding hari lainnya. Beruntung apartemennya kedap suara. Suara hujan tidak lagi mengganggu baginya, namun ia tetap menutup jendela besar di ruang tamu dengan tirai.

Ia membawa kopinya menuju sofa terdekat, mencari posisi ternyamannya dan mencari remot TV untuk mengalihkan pikirannya dari hujan yang mengganggu ketika dirinya menemukan sebelah anting Gracia yang ia cari saat terakhir kali mereka di tempat ini, di bawah sofa bersama dengan remot TV-nya.

Demian meraih anting dan remot TV-nya, memperhatikan tiap jengkal dari anting perak itu. Sedikit bersyukur anting itu tidak terlihat rusak atau tergores. Mungkin ia harus mengirim ini ke apartemennya mengingat bagaimana reaksi Gracia saat terakhir kali mereka bertemu.

Melupakan soal kopi dan sesi menontonnya, ia memindahkan sebelah anting itu di laci meja kerjanya yang berada di ruang sebelah ketika bunyi bell mengalihkan perhatiannya. Demian mengingat-ingat kembali apa ia memiliki janji dengan seseorang yang ia lupakan? Karena tidak biasanya ia menerima tamu di jam malam tanpa janji selain Gracia.

Nama Gracia membuat jantungnya sedikit berpicu. Sudut hatinya mengharapkan bahwa orang yang berada di balik pintu adalah Gracia, namun otaknya mengelak keras pemikiran itu. Gracia sudah membencinya dan itu adalah kenyataan yang harus ia terima.

Ia menghampiri kamera pengawas di sisi pintu masuk. Jantungnya terasa hampir jatuh saat ia melihat sosok wanita dengan rambut basah yang terurai panjang hampir menutupi seluruh wajahnya dari kamera pengawas.

"H-halo?" ucap Demian dengan bibir kelu, "Siapa disana?"

Sosok itu terdiam sejenak hingga akhirnya tiba-tiba ia menangis, membuat Demian terkejut sekaligus merinding. Demian hampir saja kabur, syukurlah otaknya kembali bekerja sebelum ia benar-benar pergi. Ia memperhatikan jaket yang dikenakan sosok itu terbilang cukup modis dan sama sekali tidak tampak usang. Terlebih ia merasa sangat familiar dengan sosok itu hingga akhirnya ia sadar.

"Grace?" tanyanya memastikan, dan sosok itu masih menangis di sana, membuatnya semakin yakin setelah ia mendengar baik-baik suara sosok itu, "Grace!"

Demian bergegas membuka pintunya dan menemukan Gracia dengan kondisi yang sangat jauh berbeda dengan dirinya setiap hari. Tanya banyak bertanya, ia membawa Gracia masuk ke dalam apartemennya. Memberikan handuk selimut, kopi yang untungnya masih panas, dan handuk tebal untuknya mengeringkan rambut Gracia yang basah.

Demian membongkar lemarinya dan menemukan pakaian bersih milik Gracia yang sengaja ia tinggalkan untuk keadaan darurat.

Setelah Demian memastikan semuanya baik, pakaian dan rambut kering, kopi hangat dan selimut tebal, akhirnya Demian memberanikan diri untuk menghampiri Gracia yang hanya terduduk dengan tatapan kosong di sofanya.

Demian menempatkan dirinya, berlutut di hadapan Gracia, membuatnya tak punya pilihan lain selain menatap Demian.

"Ada apa, Grace?" tanya Demian lembut, sedikit berbisik.

Gracia masih terdiam dengan tatapan kosong. Demian bahkan ragu apa Gracia ingat untuk berkedip.

"Grace..." Demian mengusap pipi nya lembut, namun terhenti ketika ia menyadari sesuatu yang janggal. "Grace, kamu demam?" tanyanya terlihat panik.

Gracia berpikir sejenak. Apa dia demam? Mungkin itu alasan kenapa perutnya terasa mual dan sekujur tubuhnya linu. Begitu menyadari keadaannya, mendadak ia merasa sangat lelah. Badannya mulai terhuyung ke sana ke mari hingga akhirnya mendarat di pelukan Demian. Ia bisa mendengar suara panik Demian yang semakin lama semakin menjauh.

Lelah sekali...

Tolong biarkan aku istirahat, sejenak.

Aku... menyukai tempat ini.


To be continue...

Fall from GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang