3. Khawatir

84 7 0
                                    

"Kita boleh perduli, namun jangan memaksakan kehendaknya."
.
.
.
.
🦋🦋

Apa yang orang lain pikirkan kan. Tentang ia yang segalanya begitu diam. Tidak pernah menunjukkan segala rasa yang sulit. Ia menyimpan semuanya.

Namun, satu hal yang paling benci. Orang yang ikut mengatur segala hal yang sudah dirinya susun dengan baik. Hancur sudah dengan kalimat peduli. Itulah jalannya, pilihannya.

"Awas Lo, El!" Matanya menatap sangat tajam. Lalu cepat berlari keluar.

"Tanggung jawab." Raden berdesis rendah. Mendorong dada Rafael mundur agar tak ikut mengejar Luka. Matanya menyorot dengan dingin.

Pemuda itu menghela nafas. Mengangkat kedua tangannya. Pertanda menyerah. "Oke."

Raden meletakkan kertas yang dibawa kemeja. Lalu pergi keluar begitu saja. Meninggalkan keadaan kelas yang masih nampak hening. Antara terkejut dan bertanya. Apalagi melihat adegan barusan.

"Siapa suruh Lo cari gara-gara." Kata Leo dengan senyum mengejek. Ia lalu membagikan formulir pendaftaran ekstra dengan santai.

Rafael sendiri menatap sebal. Ia juga tak menyangka bila Arka semudah itu mengatakan. Padahal sudah faham adiknya enggan diketahui orang lain.

Ia pun mengetuk meja dengan jarinya. Meminta semua anak untuk fokus padanya. "Maaf, kalian jadi lihat kejadian barusan. Kakak mohon, kalian jaga rahasia barusan."

"Kenapa?" Alan bertanya dengan wajah tenang. Salah satu aslinya naik pelan.

"Kalian tau sendiri Arka bukan dari keluarga biasa."

Mereka mengangguk kecil. Nampak tak terpengaruh. Atau memang dasar mereka semua berasal dari keluarga tinggi. Sadar apa yang mengejar.

"Kami bakal tutup mulut kok. Keliatan Luka anak yang manis juga." Ujar seorang gadis yang memakai hijab sendiri. Diangguki beberapa anak yang setuju.

"Luka anaknya pendiam, dia jarang ngomong. Suka tempat sunyi, itu yang Kakak tau." Balas Rafael.

Sejujurnya antara mereka mengerti keadaan Luka dan takut dari mana asal keluarga nya. Mereka lebih terkejut dari pada saat tau asal keluarga Alan yang tinggi. Ibarat ada diatasnya.

Rafael bernafas lega dengan keadaan kelas yang mau diajak bekerjasama. Ia menjadi tenang. Tinggal satu hal masalah nya.

"Lo mau ikut ngejar gak?" Tanya Leo setelah selesai membagikan kertas.

"Nanti aja, masa ninggalin tugas."

"Cih," Leo berdecih sinis. "Cuma Lo OSIS yang suka bolos, El."

Rafael terkekeh saja. Memang ia paling suka kabur dari tugas. Namun lebih baik sekarang ia membiarkan Arka yang mengurus. Lagipula hubungan keduanya tengah dingin.

Kegiatan pun berlanjut. Tak ada yang kembali membahas hal tersebut. Kevin juga memilih bungkam. Kecurigaan nya saat itu sudah terbukti. Ia tak terlalu terkejut.

🦋🦋

"Den, ketemu gak?"

Wajah tampan yang kini nampak panik sendiri. Temannya yang ditanyakan hanya menggeleng. Ia lalu mengusap wajahnya kasar.

SILENTIUM [Kesunyian] || On Going~Where stories live. Discover now