And You Can't See Me

37 3 2
                                    

Lombok

Karina POV

"Jadi, kamu benar tidak mau ikut aku pulang ke Jakarta?" tanya Juna sekali lagi saat kami sudah duduk di restoran untuk minum kopi.

Aku mengajaknya ke sini setelah menyuruh pegawai yang bertugas untuk melayani tamu Ka Rangga yang rewelnya seperti balita itu.

"Maaf ya." Aku tidak enak mengecewakan Juna. Bagaimanapun, dia kandidat terkuat untuk menjadi cinta masa depanku.

"Yha, mau gimana lagi" Juna mengedik pasrah.

"Jum'at atau Sabtu, aku akan ke kota untuk belanja. Nanti aku hubungi." Aku mencoba menghibur.

"Kalau sudah pasti, kabari supaya akku jemput." Juna tersenyum. Dia terlihat semakin tampan dengan ekspresi itu. Seharusnya tidak perlu usaha untuk menyukainya. Kenapa hatiku seperti mati rasa?

Juna satu-satunya kandidat cinta masa depanku sekarang, tetapi aku tidak ingin terlalu memberi harapan. Bukankah baru semalam aku menyadari kalau statusnya sekarang hanya sebatas tameng? Aku pernah diberi harapan palsu dan rasanya menyesakkan. Aku tidak ingin melakukan hal yang sama kepada Juna. Namun, mungkin sudah terlambat. Juna pasti bisa merasakan kalau akhir-akhir ini aku tidak lunak kepadanya.

"Aku akan kesana sendirian seperti biasa. Akan kuhubungi kalau sudah di sana."

Juna akhirnya kembali ke kantornya setelah menghabiskan kopi dan pisang gorengnya. Aku kemudian lanjut ke perkebunan untuk melihat-lihat. Kegiatan rutinku setiap pagi sebelum mandi dan masuk kantor.

"Sepertinya tomat yang di sebelah sana sudah siap panen ya?"

Aku menoleh cepat. Aku tidak mendengar kedatangan lelaki itu. Dia tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. "Apa anda perlu sam..."

"Aku tahu kamu tidak suka melihatku, tapi tidak perlu formal seperti itu," potongnya. Dia bergerak ke sampingku. "Kedengarannya malah aneh."

Aku mendengus. Siapa yang mau beramah-tamah kepadanya?

"Katanya lahannya hampir 70 hektar, ya?" nadanya terdengar biasa, seperti tidak ada masalah apapun di antara kami.

"Iya, hampir 70 hektar." Kekanakan kalau aku tidak menjawab pertanyaan seperti itu.

"Sudah ditanami semua?"

"Kebanyakan sudah. Tapi masih ada yang belum. Tidak sampai 10 hektar lagi."

"Kelihatannya menjanjikan."

"Begitulah." lebih baik menjawab pendek, sesuai pertanyaan.

"Kamu betah kerja di sini?"

"Tentu saja." Aku langsung defensif. "Tapi itu bukan urusanmu, kan?"

Meskipun tidak menoleh ke arahnya, aku tahu kalau dia sedang menatapku. Aku bisa merasakannya. Mungkin dia mencari-cari sisa-sisa pemujaan di wajahku. Ingin tahu apakah aku masih perempuan bodoh yang sama seperti dulu. Maaf saja, tetapi aku tidak akan membuatnya bahagia dengan menunjukkan jika dugaannnya benar.

"Memang bukan urusanku. Aku hanya ingin tahu. Aku ikut senang kalau kamu betah di sini. Kelihatannya tempat ini memang sangat tenang."

Arti kalimatnya itu adalah, aku seharusnya memang tinggal di sini, kan? Aku juga tidak berharap pindah ke mana-mana dalam waktu dekat. Aku suka pekerjaanku sekarang, walaupun berbeda jauh dengan apa yang aku kerjakan dulu.

"Silahkan kalau masih mau lihat-lihat. Aku mau pulang dulu." Aku berbalik

"Aku juga mau balik ke vila saja. Sambil menunggu Rangga." Dia ikut berjalan di sebelahku. "Ibuku benar, tangan kamu itu sangat dingin. Apapun yang kamu pegang pasti hasilnya bagus. Kata Rangga, kamu yang membuat tempat ini jadi seperti sekarang."

~INVISIBLE STRINGS~Donde viven las historias. Descúbrelo ahora