And I Just Wanna Show You

19 2 0
                                    

Jakarta

Dara POV

Lalu lintas siang ini lancar. Penyiar radio mengomentari langit mendung dan suhu yang terus menukik turun sebelum memutar lagu Fortnight, yang lalu kukencangkan sambil bernyanyi mengikuti nadanya.

Pernah dengar pepatah dance like no one is watching? That's me and Taylor Swift right there.

Hari ini hari liburku, yang berarti satu sesi lari pagi mengelilingi kompleks bersama anjingku, diikuti sarapan di kedai bread terenak di seantero Sudirman versi Adara Luna Wardana.

Kursi belakang mobil kini dipenuhi kantong-kantong belanja, tak lupa kotak berisi dua potong chesse cake yang tak pernah absen kusambangi setiap kali melewati area ini.

Oh, kotak berpita hijau itu juga masih ada di antara kekacauan dalam mobilku, tertindih buku-buku dan bungkusan makanan yang acap kali menjadi penyelamat saat berkendara pulang menjelang subuh dalam kondisi kelaparan. Seharusnya aku menyerahkan benda itu kepada pemiliknya minggu lalu.

Dengan enggan aku mengaktifkan fitur Siri dan menelpon sederet nomor yang sudah lama tak kuhubungi. Sebenarnya, panggilan telepon ini pun seharusnya kulakukan lebih awal.

"Profesor Namira Wardana." Nada suaranya tegas dan otoritatif, seperti biasa.

"Ini aku." Aku berdeham. "Aku sedang di sekitar Sudirman. Mungkin kita bisa makan siang bersama?" Bahkan saat kata-kata itu keluar dari mulutku sekalipun, aku tak bisa berhenti menganalisisnya. Kata 'mungkin' terlalu ambigu, dan dia tak menyukainya, apalagi kalau diakhiri dengan tanda tanya. Percakapan dengannya harus selalu cermat, tepat dan tak bertele-tele.

"Aku punya jadwal operasi enam puluh lima menit lagi. Sebelumnya aku masih harus mengunjungi pasien rawat inap." Teliti, persis sampai ke menitnya.

"Just a quick lunch, then," usulku, masih berusaha membuat suasana seringan mungkin. "Ayolah, Mom. Aku tak ingin memohon agar bisa bertemu ibuku sendiri."

Ibuku menghela napas di ujung telepon. Aku dapat mendengar bunyi klik dari ujung pulpennya, yang berarti dia sedang menggeser seluruh jadwalnya hari ini agar bisa menyisakan waktu untuk makan siang denganku. Aku tahu dia benci mengubah jadwalnya pada menit-menit terakhirnya.

"Bagaimana kalau Exquise Patisserie?" Aku menyebut nama kafe dan toko roti yang tak jauh dari tempat kerjanya.

"Aku tak mengerti mengapa kamu selalu memilih tempat pertemuan yang terpencil," tukasnya. "Lagipula, mereka tidak menjual menu makan siang."

"Fine, Wiliam's seperti biasa, kalau begitu. Jangan salahkan aku kalau kita tak pernah punya banyak variasi." jawabku.

"Kenapa harus mencari alternatif kalau sudah ada yang sempurna?" Ibuku mengakhiri telepon dengan salah satu wejangannya. Belum sempat kami bertemu, dan aku sudah menyesali panggilan telepon implusif barusan.

Aku mengemudikan mobilku menuju Wiliam's. Letaknya hanya beberapa menit dari rumah sakit tempat ibuku bekerja. Dia sudah lebih dulu berada disana, terlihat elegan dalam kemeja putihnya dan celana panjang hitam. Rambutnya yang hitam tergelung anggun di belakang kepala. Sudut bibirnya yang tak tersenyum menampakkan kerut-kerut halus yang tak ada sebelumnya, dan dia tampak lelah. Selain itu, dia tetap terlihat seperti ibuku yang biasa, tangguh, profesionnal, tak terkalahkan.

 Selain itu, dia tetap terlihat seperti ibuku yang biasa, tangguh, profesionnal, tak terkalahkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~INVISIBLE STRINGS~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang