We Could Be a Beautiful

10 1 0
                                    

Jakarta

Dara POV

"Kamu tidak sakit," diagnosis Dokter Devan dilontarkan setelah enam kali aku mengunjunginya. Termasuk sekali pemeriksaan laboratorium lengkap, endoskopi, CT scan kepala, pemeriksaan mata dan telinga dalam. "Tidak ada yang salah pada tubuhmu."

"Tapi kenapa aku selalu mengalami sakit kepala, Ka?" keluhku antara cemas dan kesal. "Kenapa aku merasa mual bahkan sampai muntah hampir tiap sore?"

"Kamu menderita penyakit psikosomatis. Gangguan kejiwaan yang menyebabkan tubuhmu merasa sakit."

Tentu saja aku tahu apa artinya psikosomatis.

"Aku menduga kamu sedang mengalami gangguan psikis yang cukup berat. Penyebabnya banyak. Antara lain stress, trauma kejiwaan, pengalaman buruk masa lalu..."

Stress. Siapa yang tidak stres di zaman serbasulit ini? Tapi tidak semua orang mengalami gangguan seperti yang kualami!

"Sebaiknya kamu pergi ke psikiater. Kamu perlu seorang ahli untuk menumpahkan unek-unek. Jika perlu, psikiater juga akan melakukan psikoanalisa untuk mengorek penyebab yang berada di alam bawah sadar. Bila dibiarkan, gangguan ini akan semakin berat. Kamu akan semakin menderita."

Jadi aku masih memerlukan dokter kejiwaab, pikirku dalam perjalanan pulang. Aku tidak sakit tapi merasa sakit! Tubuhku sudah memprotes atas penderitaan batin yang kualami selama ini!

"Ah, Devan bisa saja bicara seperti itu!" komentar Ka Satya ketika aku menyampaikan hasil pemeriksaan Dokter Devan. "Kalau diagnosisnya tidak ketemu, enak saja dia bilang psikosomatis! Itu kan penyakit tong sampah! Kalau semua pemeriksaan baik, tidak ada penyakit yang ditemukan di tubuhmu, dia mau bilang apa lagi? Psikosomatis! Beres. Sudah kakak bilang, kamu tidak sakit!"

Aku sudah bosan diganggu penyakit ini. Hampir tiap sore aku mual. Kalau datangnya pagi, asumsinya aku hamil! Tapi sore?

Dan sakit kepalaku! Mengapa aku diserang sakit kepala terus-menerus? Ada penyakit apa di kepalaku? Tumor?

"Tidak ada yang salah pada tubuhmu."

Berarti tidak ada tumor di kepalaku. Tidak ada janin di rahimku. Tidak ada iritasi, radang atau hernia di lambung. Semua beres, Semua baik. Semua terkendali.

"Kamu menderita penyakit psikosomatis."

Itu pendapat Dokter Devan. Pendapat seorang ahli. Mustahil dia mengada-ada.

***

Author POV

Semuanya berlangsung seperti biasa. Sama seperti kemarin. Dan kemarinnya lagi. Rutin. Kadang-kadang malah membosankan. Pernikahan di ambang tahun kelima memang gersang. Apalagi kalau Devan sedang marah-marah begini.

Akhir-akhir ini dia memang sering marah-marah. Kesibukannya bekerja membuat dirinya selalu tegang. Dan ketegangan mudah memercikkan kemarahan.

Kalau sedang sabar, Mika memang pasrah. Dia diam saja menerima dan mendengarkan gerutuan suaminya.

Tetapi kalau dia sendiri sedang tegang seperti ini, kesabarannya rendah sekali ambangnya.

"Urusan pekerjaan jangan dibawa-bawa ke rumah, Mas," tegur Mika di meja makan.

Dia sedang menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Tetapi Devan sendiri lebih tertarik pada note book-nya.

"Terus harus kubawa ke mana?" gerutu Devan sengit. "Semuanya tidak beres! Ditinggal sebentar saja berantakan begini!"

"Tapi semua itu kan salahku, Mas!" cetus Mika tak sabar. "Kenapa harus selalu aku yang menerima omelanmu? Kenapa Mas tidak marah-marah di rumah sakit saja nanti?"

~INVISIBLE STRINGS~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang