2

577 88 23
                                    

Setelah penuh pertimbangan, akhirnya lelaki itu memutuskan menjual beberapa koleksi sepatu mahalnya. Sembari mencari tempat yang tepat untuk bekerja paruh waktu, Jayan bertekad akan hemat mulai detik ini.

Malam ini menu makan malamnya hanya satu bungkus mie instan tanpa telur. Padahal biasanya lelaki itu akan menambahkan potongan sosis maupun telur setengah matang yang menambah rasa gurih.

Jayan mengusap sudut bibir. Mulutnya mulai berair. Lelaki itu seperti orang bernasib paling malang di dunia. "Tubuhku akan menyusut. Sebulan kemudian sepertinya kekurangan gizi." Jayan mendesah lemah. Sangat dramatis hidupnya.

Malam ini sedikit gelap akibat awan di atas sana menutupi keberadaan rembulan. Jika saja tidak harus membeli makan malamnya, Jayan lebih memilih tiduran di dalam kamar. Sangat menyiksa karena seumur hidupnya terbiasa dilayani.

Hoodienya yang besar menenggelamkan tubuhnya hingga sebagian paha. Celana jogger yang ia ambil sembarang menyelimuti tubuh bawahnya.

Penampilan Jayan sangat berbeda dengan dulu. Lelaki itu sering merubah fashionnya seperti seorang mahasiswa. Tujuannya untuk mendapatkan pacar lebih dewasa darinya tentunya.

Unit apartemen yang dibeli Ayahnya biasa saja. Tidak mewah. Padahal Jayan ingin mengupload kehidupan sehari-harinya di media sosial.

Ditambah jalan menuju gedung apartemennya sedikit sepi. Lelaki itu segera berlari kerena takut dihadang pencopet atau preman.

Dia terengah-engah di dalam lift. Lelaki itu memang punya pemikiran berlebihan. Saat pintu lift terbuka, Jayan menjerit akibat melihat seorang lelaki yang duduk dengan kepala menunduk.

Jayan berjalan cepat menuju unit apartemennya yang hanya melewati tiga pintu dari lelaki misterius. Namun langkahnya terhenti. Jayan sadar setelah melihat jaket kulit yang tidak asing.

"Hei! Tunawisma dilarang masuk!"

Jayan menatap ngeri ketika Sing mengangkat pandangan. Luka di wajah lelaki itu sepertinya bertambah.

"Pergi."

Jayan berkacak pinggang. Entah datang dari mana keberaniannya. "Tidak mau. Memangnya bangunan ini punya Ayahmu?"

Sing dengan wajah sangarnya membuat Jayan perlahan mundur. Sepertinya tanduk Sing mulai muncul. "Kau mau mati? Menyingkir!"

Jayan menurut. Lelaki itu segera masuk ke unit apartemennya. Sing yang melihat kembali menyembunyikan wajahnya di antara lutut.

Sampai terdengar bunyi berisik di telinganya, lelaki itu heran dengan Jayan yang membawa kotak obat.

"Kau tinggal di sini?" Jayan mengabaikan tatapan menusuk Sing. Lelaki itu memberikan kapas basah, yang sudah ia tuangkan cairan pembersih luka.

"Bersihkan lukamu. Wajahmu sangat jelek."

Sing berdecak. Namun tangannya tetap mengambil kapas yang disodorkan.

"Kau tinggal di sini, Sing?"

"Jangan sok kenal." Sing lanjut mengambil plester luka dan menempelkan di sekitar tulang pipi.

Decihan keluar dari mulut Jayan. Lelaki itu membetulkan posisi plester luka yang tidak terpasang benar. Sing diam menerima perlakuan Jayan.

"Kenapa kau duduk di sini?"

Sing menghela napas jengah. "Bukan urusanmu!"

Jayan terkekeh melihat wajah Sing yang kesal. Seperti anak anjing milik Leo ketika diganggunya.

Namun Jayan tidak akan mengatakannya. Takut dibanting. Lelaki di depannya ini sepertinya mode senggol bacok.

"Baiklah." Jayan memilih pergi. Dia juga sudah mulai lapar. Namun takdir sedang mempermainkannya.

Tali sepatu lelaki itu terinjak dengan konyolnya, hingga kotak obat lumayan berat itu terbang, mendarat tepat pada batok kepala Sing.

Rahang Jayan jatuh. Pantatnya yang membentur lantai diabaikannya begitu saja. Lelaki itu lari terbirit-birit menghindari kemarahan Sing.

"Hei!"

***

Leo melirik sedari tadi. Jayan terlihat seperti orang yang tidak mandi. Lelaki itu sangat kusut penampilannya. Apalagi kantung matanya yang terlihat jelas, membuat Leo berpikir bahwa temannya itu sedang ada masalah.

Jayan balas melirik, Leo dengan cepat memutus kontak mata. Dia asik memakan keripik kentang tanpa ingin menawari Jayan. Apalagi meminta Jayan berbagai masalah padanya? Dasar teman monyet.

Leo sudah pergi menuju kelasnya berada, meninggalkan Jayan yang masih berdiri di ambang pintu kelasnya sendiri.

Di sebelah kursinya, sudah berada seorang lelaki yang menatapnya dingin. Sing pasti marah akibat kejadian tadi malam. Jayan merutuki kecerobohannya.

"Pagi, Sing. Hehe." Jayan tertawa dengan wajah tegang. Lelaki itu duduk pasrah di kursinya.

Dalam hatinya sangat berharap sekolah ini tiba-tiba diliburkan. Alarm pertanda kebakaran di sekolah menyala. Apa pun itu, asalkan sehari saja ia bisa melarikan diri.

"Kepalaku benjol." Sing menghadapnya, menunjuk tempat itu.

"Maafkan saya, Yang Mulia." Jayan bersimpuh, membuat semua orang di kelas itu menatap penasaran interaksi mereka.

Alis Sing terangkat melihat lengan yang disodorkan padanya. Melihat Sing yang tidak paham, Jayan menghela napas.

"Cubit aku di sini untuk balasan."

Sing dengan wajah jahatnya berancang-ancang. Melipat seragamnya naik sampai otot bisepnya terlihat.

Jayan semakin panik. Lelaki itu memejamkan mata dengan kening mengkerut lucu.

Sing memperhatikan wajah itu. Dua kali lelaki ini mencari masalah padanya. Lemparan batu itu ia maafkan akibat tidak sengaja. Namun untuk kedua kalinya, tak bisa dihitung 'tidak sengaja' dalam kamus Sing.

"Aaakk! Gila!" Jayan menjerit kuat. Tangan lelaki itu menyilang di dada. Sing mencubitnya, tapi bukannya di lengan, lelaki itu malah mencubit dua dadanya.

Kancing kemeja atasnya tergesa dibuka. Jayan melihat kulit dadanya memerah. Lelaki itu melotot menatap Sing yang saat ini bersandar di kursi dengan mata terpejam.

"Bajingan gila!"

***

Leo mengunyah nugget ayamnya kesulitan. Pipi lelaki itu penuh. Dia mendengarkan Jayan yang sedang mengadu.

Lelaki itu menelan bulat-bulat kunyahannya yang belum terlalu halus. "Putingmu kena?"

"Kena! Makanya sakit sekali. Dasar preman tengik mesum bajingan!"

Leo membekap mulut Jayan. "Memangnya kau berani dengannya?"

Jayan terkekeh, lalu menggeleng. "Tapi Sing sangat menyebalkan." Lelaki itu menatap sengit punggung Sing yang terlihat tak jauh dari tempat duduk mereka. "lihat saja, aku akan membalasnya dengan cara lain. Camkan itu, Sing!"

Leo menatapnya datar. Jemari Jayan yang diam-diam bergerak mengambil jatah nuggetnya membuat Leo memukul punggung tangan lelaki itu. "Maling!"

Jayan cengengesan. Mengibarkan bendera perang kepada preman itu tentu harus punya energi banyak. Jayan tetap memakan jatah nugget Leo, mengabaikan rambutnya yang dijambak.






















To be continued...

Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang