7

546 99 48
                                    

"Huek!" Beberapa kali Sing ingin muntah akibat aroma tidak sedap yang menguar dari unit apartemen Jayan.

Sudah seperti kepingan kapal Titanic saja tempat ini. Pakaian bekas berserakan di mana-mana. Piring kotor bahkan sampai ada di atas lemari. Entah, apakah Jayan makan sambil terbang?

"Perutmu sakit? Perlu kupanggil ambulan sekarang?" Jayan khawatir. Di matanya Sing sudah sekarat.

"Tempat ini bau busuk." Sing menjepit hidung. Rasa nyerinya tiba-tiba saja terlupakan.

Wajah Jayan berubah datar. Lelaki di depannya ini tidak tahu terima kasih. Sudah ditolong, masih sempat menghina.

Matanya melirik ke sekeliling. Memang benar unitnya sangat berantakan. Tapi wajar saja jika anak lelaki seperti itu. Jayan mengedikkan bahu.

"Tunggu sebentar." Lelaki itu segera berlari mengambil kotak obat. Sementara Sing membuka jaket serta seragamnya, hingga sekarang lelaki itu telanjang dada.

"Kau habis diserang siapa?!" Jayan geleng kepala melihat banyaknya lebam di kulit Sing.

Tak lupa Jayan mengambilkan es batu untuk memar itu. Jayan meringis saat Sing mengobati lukanya sendiri. Seperti sudah biasa dengan keadaannya.

"Sing, hei?! Siapa yang memukulimu?"

Sing melirik. Lelaki itu tetap tak ingin menjelaskan. Namun Jayan juga tidak bisa ikut campur. Akhirnya lelaki itu hanya duduk diam, mengamati bagaimana Sing yang telaten mengobati lukanya sendiri.

"Kenapa tidak langsung masuk ke tempatmu? Kenapa suka sekali mengejutkan dengan duduk di sana." Jayan mengeluarkan unek-uneknya.

"Terserah aku. Memangnya ini gedung Ayahmu?" Sing menarik sudut bibir ketika Jayan melirik sinis.

Padahal lelaki itu duduk di sana karena memang meminta pertolongan. Di unitnya tidak ada kotak obat. Sing selalu berharap ada orang baik yang menemukannya, dan orang baik itu selalu saja Jayan.

Melihat tubuh Sing yang berotot, membuatnya iri hati. Jayan menyentuh otot bisepnya yang mulai lunak akibat tidak dilatih.

Bagaimana cara melatih? Protein saja lelaki itu kekurangan. Untuk pergi ke tempat Gym dia terlalu sayang uang. Bahkan seminggu ini Jayan hanya makan mie instan. Uangnya padahal cukup, namun lelaki itu tidak bisa mengatur dengan baik.

"Terima kasih." Sing melirik Jayan yang sedang melamun. Lelaki itu kemudian bersandar dan menghela napas.

"Sing, bagaimana caramu melatih otot?"

Pertanyaan itu membuat Sing membuka mata. Dia sadar sedari tadi Jayan memang sedang membandingkan tubuh mereka. "Memukul orang."

Bibir Jayan mencebik. Sing mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke wajah itu. Bidikan yang tepat.

"Hei!" Jayan merasa wajahnya kebas. Tenaga Sing tidak main-main.

"Bersihkan tempat ini. Memangnya kau tidak takut ada kecoa?" Sing merinding membayangkan hewan kecil itu lewat depan matanya.

"Kecoa?" Jayan tertawa sambil geleng-geleng kepala. "tempatku tidak sekotor itu untuk jadi sarang kecoa."

Tidak lama kemudian, dahinya disinggahi hewan bau menyengat yang baru saja mereka bicarakan.

"Uakkk!!"

***

Kaos belakangnya sampai tercetak di tubuh akibat keringat. Pendingin ruangan seperti tidak berpengaruh. Jayan sudah berkali-kali mengeluh kelelahan. Padahal lelaki itu kerjanya hanya memungut beberapa sampah.

Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang