Sesi Akhir

9.6K 131 1
                                    

"Maaf Kimi. Kamu harus banyak menerima banyak rangsangan untuk cepat pembukaan. Vibrator di dalam sana hanya bisa membuat baby ballon bergerak aktif, dan ternyata itu kurang bisa mempercepat pembukaan, " Bisik Kak Ben.

Saat ini Kimi hanya terdiam, menyandarkan kepalanya di pundak Kak Ben. Sementara itu kedua tangan Kak Ben masih sibuk dengan badan Kimi. Satu mengelus punggung Kimi dan satu lagi menarik ulur selang rahim yang mentai dari lubang bawah Kimi.

"Hhmm... " Gumam Kimi pelan sembari menahan sakit. "Kapan sshh...ini hhmm...akan..euughh ber..eughmm...akhir? " Lanjutnya.

"Nanti malam," Sahut Kak Ben yang diam-diam memasukan jemarinya ke selang rahim untuk mengecek pembukaan. "Baru pembukaan tiga, Kimi. Ayo, kakak bantu bilas. "

Kak Ben menarik tubuh Kimi dari tubuhnya. Kini Kak Ben sibuk membasuh setiap sudut tubuh Kimi dengan sabun sebelum membantunya berdiri untuk keluar bathtub. Membersihkan tubuh Kimi dari sabun dan memapah Kimi berjalan keluar kamar mandi. Merebahkan tubuh Kimi yang sudah kelelahan oleh rasa sakit diatas tempat tidur dan memastikan Kimi berasa dalam tidur sebelum Kak Ben kembali ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Kimi melirik jam yang tergantung di salah satu sudut sudut kamar. Menunjukan pukul empat tiga puluh lima menit. Dari jendela yang terbuka, langit yang sedari tadi gelap mulai menampakan nuansa birunya. Mendekati subuh, Kimi terlelap berselimut lelah. Meski samar-samar terdengar aktivitas Kak Ben yang tengah berbenah diri dan baby ballon yang sesekali bergerak hebat, namun semua gangguan itu terkalahkan oleh lelah yang Kimi rasakan hingga akhirnya Kimi benar-benar terlelap.

"Uuu...ggghhh... "

Kimi merintih panjang ketika vibrator di dalam sana kembali pada kecepatan maksimal. Ia meremas erat bantal hingga tubuhnya meringkuk. Entah apa yang sedang Kak Ben lakukan saat itu, namun begitu mendengar rintihan Kimi ia langsung berlari dan mengelus perut Kimi. Sementara tangan lainnya meraih salah satu tangan Kimi dan menggenggamnya erat.

"Sshhttt... tenaang.... tarik napas panjang!" Bisik Kak Ben tepat di atas telinga Kimi. "Lepaaas" Lanjut Kak Ben begitu Kimi mengikuti intruksinya.

"Hhuuuufff... "

Kimi menghela napas panjang dan kembali menarik napas mengikuti intruksi yang Kak Ben berikan. Alhasil Kimi menjadi tenang meski perutnya masih terasa sakit. Perlahan ia membuka kedua matanya dan tanpa disangka, ia langsung bertatapan dengan kedua mata Kak Ben yang entah kenapa pagi itu Kimi merasakan sesuatu yang berbeda. Kak Ben terlihat begitu bahagia hingga kedua matanya terlihat begitu berbinar. Hal itu dikuarkan lagi oleh senyuman lebar bibir Kak Ben yang seingat Kimi tidak pernah memudar sejak kemarin. Keduanya terdiam mematung dengan sepasang mata mereka yang masih terpaut.

"Oke... Sudah mereda, " Sahut Kimi, memecahkan keheningan.

"Ya, mau pindah ke balkon?" Ajak Kak Ben yang langsung mendapat anggukan kepala dari Kimi.

Kak Ben pun nembantu Kimi bangun. Memasangkan long cardy pada tubuh Kimi sebelum memapah Kimi berjalan sembari merangkul pinggul Kimi hingga kini keduanya berdiri di balkon. Kimi berdiri di depan Kak Ben. Membiarkan kedua tanganya yang bertumpu pada pagar pembatas diremas hangat oleh Kak Ben. Perlahan tubuh Kak Ben semakin mendekat pada Kimi hingga lagi-lagi Kimi bersandar pada tubuh Kak Ben.

"Eeuugghhhmmm...."

Kimi meremas erat pagar balkon. Sementara itu kedua tangan Kak Ben langsung meraih perut bawah Kimi. Mengangkat perut Kimi keatas dan menggoyangkan perlahan, membuat Kimi ikut menggoyang pinggulnya pelan membentuk angka delapan. Tak lupa ia mengikuti intruksi Kak Ben untuk bernapas dengan benar.

Sungguh romantis. Perlahan salah satu tangan Kak Ben mulai menyusup ke belakang tubuh Kimi. Meraih selang rahim dan kembali menarik ulur.

"Eeuuhhmmm..." Gumam Kimi setengah merintih. Ia membungkukan tubuhnya, menyandarkan kepalanya diatas pagar pembatas balkon.

"Uugghhh... Sssshhh... Kaak... Euummhhmmm... Saakk..aahhgg... kiit. Eughmm...Kaakk.. Stoop... Ssshh... Pan.. Argh.. ass... Eug hmm... Hmm.. Hmmm... "

Bukanya mendengarkan Kimi, Kak Ben justru semakin brutal menarik ulur selang rahim. Membuat tubuh Kimi ikut bergerak maju mundur.

"Sshh.. ttoopp... Sshhhtt... Aaahhh! "

"Tahan Kimi, ini supaya kamu bisa melahirkan tepat waktu. Saat ini bukaanmu belum bertambah. Seharusnya saat ini kamu sudah harus berada di pembukaan lima. "

Kak Ben semakin kuat menarik selang rahim Kimi. Sementara tangan satunya meremas-remas perut Kimi. Tak perduli dengan erangan kesakitan yang menyambut paginya.

"Eeuughhmm..."

Sebisa mungkin Kimi mengendalikan pikirannya. Bukankah ini yang selama ini ingin Kimi rasakan? Bukankah ini jawaban dari tanda tanya besarnya selama ini? Tak disangkanya, selulus kuliah Kimi langsung mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya tentang kondratnya sebagai seorang wanita. Dia yang selama ini penasaran bagaimana rasanya hamil dan seperti apa rasa sakitnya melahirkan, perlahan mulai terjawab. Meskipun ini hanya simulasi dan jawaban sebenarnya baru akan terjawab beberapa bulan ke depan.

Sungguh beruntung jika memiliki pasangan hidup seperti Kak Ben yang begitu siaga menjaga wanita hamil. Memberikan perhatian penuh dan memperhatikan setiap detail keadaan Kimi maupun kandungannya. Tiba-tiba saja, Kimi ingin memiliki pasangan hidup seperti Kak Ben. Begitu lembut, hangat, peduli dan perhatian padanya. Sayangnya Kimi hanyalah media penelitian dan setelahnya akan melanjutkan kehidupan masing-masing.

"Uugghh! "

Pekik Kimi begitu jemari Kak Ben masuk ke dalam rahim buatan.

"Sudah empat. Maaf ya, sudah bikin kamu kesakitan, " Ucap Kak Ben sambil membangunkan tubuh Kimi dan memeluknya erat dari belakang. Mengangkat perut Kimi dengan kedua tangannya dan keduanya terdiam menikmati pemandangan pagi yang indah di hadapan mereka.

"Kalau nanti Kakak sudah menikah, apa kakak akan memperlakukan  istri kakak seperti apa yang kakak lakukan hari ini?" Celetuk Kimi.

"Hm? Maksudnya?" Kak Ben melirik wajah Kimi yang juga menengok ke arahnya. "Kalau memang istri kakak nanti tidak punya rahim, tentu saja kakak akan memasang rahim palsu untuknya,"

"Bukan itu, maksudku. Kakak sangat siaga merawatku yang sedang hamil. Kalau nanti istri kakak sedang hamil apa kakak akan memperlakukan istri kakak seperti kakak memperlakukan ku saat ini?"

"Hhmm.." Kak Ben bergumam sekaligus memikirkan jawaban dari pertanyaan Kimi. "Tergantung situasi. Tapi sejak dulu kakak sangat ingin menjadi suami siaga yang bisa diandalkan istri kakak. Kenapa? "

"Nggak kok, Kak. Cuma pengin tau aja, Kak. Kan nggak semua suami memperlakukan istrinya yang sedang hamil sebaik kakak, " Jawab Kimi, meski penuh harap bisa mendapatkan suami seperti Kak Ben. "Awww!" Pekik Kimi yang lagi-lagi mendapat serangan dari vibrator dari dalam tubuhnya.

"Oh! Sudah datang lagi. "

Kak Ben kembali mendorong perlahan tubuh Kimi hingga menungging dan menarik ulur selang rahim yang tak pernah gagal melahirkan lantunan indah dibalik rasa sakit yang Kimi rasakan.

Maiesiophilia PartnerOù les histoires vivent. Découvrez maintenant