🌷 EXTRA PART III || ARC 1

267 13 5
                                    

Ruby tersadar dengan sekujur tubuh yang terasa sakit dan pegal-pegal. Setelah memulihkan kesadaran sepenuhnya, apa yang pertama kali Ruby cari adalah putranya.

"Reo? Reo? Di mana kamu, Reo?" Ruby mengelilingkan pandangannya, berusaha menemukan sosok Reo.

Sayangnya, yang dapat ia lihat hanya reruntuhan bangunan. Tempat yang terasa pengap dan remang. Bangunan ini sepertinya adalah bekas proyek yang dibiarkan terbengkalai.

"Udah sadar, ya?"

Kemunculan suara itu sontak membuat Ruby menoleh. Bukan suara Jean, melainkan sosok pria bertopeng dan berpakaian serba hitam-hitam yang sebelumnya mengemudikan mobil.

"Mana Reo? Bebasin dia. Dia masih anak kecil yang nggak tau apa-apa," pinta Ruby. "Gue mohon sama lo. Gue janji bakal ngelakuin apapun yang lo minta asal jangan lukain Reo lagi."

Wanita itu mulai mengucurkan air mata bersama dengan permohonannya.

Ruby tidak berdaya. Tubuhnya terikat ke tiang besar pondasi bangunan. Tidak ada yang sanggup dia lakukan saat ini selain memohon kepada penculik itu agar membebaskan Reo.

"Ruby," panggil pria itu seraya melucuti topeng hitamnya dari kepala.

Detik itu juga, Ruby akhirnya tahu pemilik wajah di balik topeng tersebut. Sepasang mata sayunya menatap Ruby dengan riak tak berarti.

Ekspresi datar itu masih sama sejak kali terakhir Ruby melihat dia di acara resepsi pernikahannya. Tujuh tahun yang lalu.

Seperti orang yang tak bergairah hidup. Tukang tidur. Selalu mengantuk. Pemalas. Pasif.

Pria itu ...

"Naufal?"

Ya. Seseorang yang masih termasuk salah satu teman Reja. Bagaimana mungkin Ruby tak speechless mengetahui fakta ini?

"Apa-apaan, Fal? Jadi lo-?" Ruby tercekat. "Lo sekongkol sama si Jean buat nyulik gue dan anak gue?"

Tangisan Ruby reda tanpa disadari. Wanita itu menatap tak percaya ke arah Naufal yang masih memperlihatkan ekspresi lempeng.

"Apa tujuan lo berdua? Kenapa harus bawa-bawa anak gue segala? Dan lagian, kenapa lo ikut-ikutan si Jean? Bukannya selama ini lo temen baiknya Eja?" tanya Ruby bertubi-tubi.

"Gue pikir lo itu baik, Fal. Lo pendiem, gak neko-neko kayak yang lainnya. Eh, ternyata lo itu diem-diem busuk, ya."

Ruby kesal setengah mati. Maka dari itu dia melampiaskan unek-uneknya pada Naufal.

Orang yang dia pikir baik, ternyata diam-diam menghanyutkan. Sebuah fakta pahit yang tak pernah ia duga dalam hidupnya.

"Udah?"

Naufal tampak tidak terganggu dengan kata-kata Ruby yang menusuk. Kalau saja itu Jean, pasti dia akan langsung naik pitam. Tapi karena ini Naufal yang pendiam, maka responnya sangat jauh berbeda.

"Udah bacotnya?" ceplos Naufal. Kemudian mulai melangkah maju demi menghapus jarak.

Tiba tepat di hadapan Ruby, ia berjongkok dengan tumpuan satu lututnya untuk mensejajarkan posisi wajah mereka.

Naufal membidik manik Ruby dengan riak datar.

"Lo nggak sadar, ya? Dari dulu, gue sama Jean itu emang udah satu frekuensi. Dibanding yang lainnya, cuma dia yang paling gue anggep," ungkap Naufal.

"Kalo si Reja, sih, beda lagi. Gue bahkan nggak terlalu nganggep dia sebagai temen. Soalnya ... dia itu bocah caper dan sok alim. Dia suka ke orang yang seharusnya nggak dia suka. Padahal, gue duluan yang suka ke orang itu. Tapi dia malah ngerebut gitu aja pake sifat sok baiknya."

ALAVENDERWhere stories live. Discover now