19

1.1K 227 103
                                    

happy reading

⏳️⌛️⏳️

"Hnngh."

Lenguhan keluar dari ranum tebal si pemilik manik sebiru lautan indah. Tubuhnya menggeliat kala rasakan hangat yang sejak tadi mendekapnya perlahan menghilang.

Kelopak matanya berayun, terbuka dengan perlahan perlihatkan netra indahnya kepada si pemuja yang kini menatapnya dalam. Tatapan keduanya bertemu. Seolah waktu yang terhenti, Hazel berani bersumpah bahwa ia ingin selalu seperti ini, selalu di bawah kukungan tubuh besar pria yang kini belai pipi dan rapikan surai blonde Hazel dengan jari panjangnya.

"Maaf, kebangun ya?"

Suara dalam itu terdengar menyapa telinganya dengan lembut. Benjamin mengusap pipi merah sang pujaan hatinya dengan ibu jari. Anggukan kepala ia dapatkan sebagai jawaban.

Hazel menyamankan posisinya yang tertidur diatas kasur nan empuk sambil maniknya tetap balas tatapan sedalam samudra yang bahkan tidak diketahui ujungnya, "Gapapa, makasih."

Satu alis tebal terangkat naik, posisi keduanya kini sangat berdekatan sehingga bisa rasakan nafas yang berderu. Benjamin menaruh satu lagi tangannya di samping bahu Hazel, posisinya kini sepenuhnya sempurna mengukung tubuh yang lebih kecil di bawahnya.

"Kenapa bilang makasih?" tanya Benjamin dengan lembut. Kini ia membawa telapak tangan Hazel untuk ia genggam, tangan kecil itu ia genggam erat di samping bahu kecil sang empu yang kini pipinya mulai menampilkan semburat-semburat merah.

Cantik.

Hanya kata itu yang tersematkan di pikiran Benjamin saat melihat rupa pria bersurai terang dan netra biru kristal yang menatap jelaga hitamnya sedari tadi. Indah, Hazel adalah manusia terindah ciptaan Tuhan yang pernah Benjamin temui seumur hidupnya.

"Makasih udah gendong gue tadi di taman, makasih udah di bawa kesini." Jawab Hazel dengan beruntun. Berbeda dengan saat pertama kali ia dipengaruhi alkohol, kali ini pria kecil itu mengingat beberapa hal yang ia lakukan ketika kewarasannya terenggut.

"Ga perlu bilang makasih. Kepalanya pusing ga?" tanya Benjamin lagi dengan lembut.

"Engga pusing."

Bohong. Hazel menggelengkan kepalanya, berbohong dan sembunyikan rasa nyeri yang melanda kepalanya sebab ia tidak ingin dirinya disuruh untuk beristirahat dan pejamkan mata. Ia ingin sepuas-puasnya lampiaskan rindunya dengan pria yang masih setia usap pipi memerahnya.

"Ben..."

Benjamin tidak menjawab, ia menunggu Hazel untuk lanjutkan kalimatnya. Ia nantikan pria di bawahnya ini untuk keluarkan semua kalimat yang tertahan diujung lidahnya.

"Amour..."

Darah Benjamin berdesir, jantungnya berdebar dengan kencang kala tangan kecil Hazel yang tidak ia genggam kini menangkup raham tajamnya. Kedua kalinya Benjamin dengar panggilan itu, namun kali ini diucapkan oleh pria kecil dengan seratus persen kesadarannya dan hal tersebut berhasil menggoyahkan seluruh pertahanan Benjamin untuk tidak mencumbu si cantik di bawahnya.

Hazel telan seluruh rasa malunya. Biarkan ia ungkapkan seluruh hatinya. Ia tak peduli jika dirinya menjadi manusia paling kurang ajar dan tak tahu diri di muka bumi ini. Hazel tak peduli jika ini terdengar lancang, namun ia ingin sekali ini saja menjadi manusia yang egois, lawan seluruh takdir yang sedari dulu selalu mencekik lehernya.

Hazel ingin Benjamin menjadi miliknya, Hazel ingin Benjamin mengetahui hal itu, dan Hazel ingin Benjamin juga tahu bahwa ucapannya selama mabuk tadi tidaklah merupakan sebuah kebohongan.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: 5 days ago ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Powerless | SungjakeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora