Hiding From Sniper

198 11 6
                                    

Melihat Amara menangis dan pingsan di pengadilan membuat Robby yakin jika Reynov sudah mati. Amara tidak pandai berpura-pura. Robby tahu itu. Tangisan itu nyata. Maka, ia suruh pembunuh bayarannya berhenti bergerak.

"Misi ini selesai. Jangan buat pergerakan lagi!" kata Robby melalui telepon.

"Tapi, Bos, saya benar-benar melihat Reynov!"

Di kegelapan malam, seorang penembak jitu yang sedang ada di atap gedung membidik sebuah losmen kumuh di pinggiran kota.

"Omong kosong! Kemarin kamu juga melapor melihat Reynov, tapi salah orang!"

"Kali ini saya berani bersumpah. Orang ini Reynov. Kaki kanannya pincang karena kena tembak, kan? Tingginya 180 cm? Itu Reynov!"

Robby menggeleng. "Tidak. Reynov sudah mati! Hentikan misi ini. Rekanmu yang mengejar Cassie juga tidak ada laporannya lagi sekarang. Padahal saya sudah bayar dia mahal. Dasar kalian tidak becus!"

"Maaf, Bos, tapi saya tidak tahu kabar rekan saya yang lain. Kami bekerja sendiri-sendiri!" kata pembunuh bayaran itu. Ia tidak tahu jika rekannya sudah mati di tangan Cassie.

"Saya akan bayar jasamu setengah harga karena misi tidak perlu dikerjakan lagi," kata Robby.

"Apa? Bos, saya nggak tidur berhari-hari cuma buat mengintai Reynov. Bos nggak bisa memutuskan sepihak gini, dong!"

Robby tidak peduli. Ia sudah kehabisan uang. Ia tidak perlu menghambur-hamburkan uang lagi untuk menyewa pembunuh bayaran.

"Masa bayar cuma setengah harga?" Penembak jitu itu kesal. Lantas, sambil mengomel ia akhirnya mengemasi senapan laras panjangnya.

Sedangkan di losmen kumuh itu, Reynov berdiri merapat di dekat jendela. Bersembunyi. Ia tahu ada penembak jitu yang mengintainya. Lantas ia angkat sebuah cermin kecil ke jendela, mengintip. Ia lihat penembak jitu itu pergi. Kenapa orang itu tidak jadi menembak? Apa Robby berubah pikiran? Apa Robby kini yakin jika ia benar-benar sudah mati? Apa yang membuat Robby yakin?

Reynov tiba-tiba teringat persidangan Amara. Ia juga menontonnya di TV lobi losmen. Melihat wanita itu pingsan dan menangis mengungkapkan cintanya di tengah persidangan, ternyata membuat semua orang tersentuh. Termasuk Reynov. Jangan-jangan Robby yakin dirinya telah mati setelah melihat Amara pingsan di persidangan? Reynov tiba-tiba terpikirkan hal itu. Jika benar karena itu Robby menghentikan penembak jitu itu, sungguh Amara telah menyelamatkan hidupnya.

Hari demi hari bersembunyi dari incaran Robby sungguh menakutkan. Kakinya belum sembuh total. Ia tidak bisa berlari. Ia tidak punya senjata. Bahkan sekadar untuk tidur saja ia harus tetap waspada, takut jika tiba-tiba ada peluru menembus kepalanya dari berbagai arah. Lantas, hari itu saat ia sudah teliti sekitar tidak ada yang mengikutinya, Reynov menuju ke rumah sakit.

"Kenapa Anda tidak pernah datang kontrol? Luka bekas tembak ini bisa terinfeksi!" omel dokter yang menangani luka tembak Reynov. Ia juga yang memalsukan data kematian Reynov. "Anda masih bisa hidup setelah terkena hipotermia saja itu sudah suatu keajaiban. Untung perempuan yang membawa Anda ke sini dulu itu paham tentang penanganan darurat hipotermia. Kalau tidak, Anda bisa mati."

Reynov tertegun. Ya, ia masih bisa hidup karena Amara paham penanganan hipotermia. Sungguh lagi-lagi Amara telah menyalamatkan nyawanya.

"Anda harus kontrol ke sini lagi minggu depan!" kata dokter itu.

Reynov tidak bisa mengiyakan. Entah sampai kapan ia harus bersembunyi.

Reynov kini harus hidup dengan nama Darren Collins. Ia memalsukan kematiannya, untuk mengecoh Robby. Dengan mudah, ia bisa melakukannya karena hanya sedikit sekali orang yang datang di pemakamannya. Waktu itu hanya ada Amara beserta dua pengawalnya, lalu pejabat koleganya Robby, petugas perwakilan rumah sakit, ahli agama, dan ahli kubur. Maka ia hanya perlu menipu dua orang saja. Amara dan pejabat suruhan Robby. Selain itu, semua orang yang hadir di pemakamannya sudah tahu jika jasad yang disemayamkan itu bukan jasad Reynov, melainkan kebetulan saja ada pasien lain yang meninggal hari itu.

Pejabat suruhan Robby itu belum pernah bertemu langsung dengan Reynov. Otomatis, pejabat yang sudah tua itu bisa ditipu dengan jenazah pasien lain. Sedangkan Amara, untungnya wanita itu pingsan bahkan sebelum peti mati itu dibuka oleh ahli kubur. Kalau saja Amara tidak pingsan, Reynov akan menyuruh pengawal Ali Sandi untuk membius Amara.

Lalu Reynov, waktu itu ia ada di dalam mobil mengamati prosesi upacara kematiannya. Ia melihat Amara pingsan. Ia tidak menyangka, ternyata ada orang yang menangisinya jika ia mati. Selama ini ia selalu bertanya-tanya, ia yang sebatang kara tanpa orang tua, dan seorang kriminal ini, akankah ada yang menangisinya jika ia mati? Dan ternyata ada. Amara.

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now