40. Betrayer

5K 514 10
                                    

"Bodoh! Saya suruh kamu membunuh Reynov!" Robby memaki Erik.

Mereka ada di gudang tempat kursi, meja, dan segala perkakas pesta disimpan. Di sanalah Reynov dan Amara bersembunyi. Beberapa kali Erik dan Robby melintasi tumpukan kursi tempat perlindungan Reynov dan Amara. Amara gemetaran. Ini seperti permainan petak umpet dengan nyawa sebagai taruhannya.

"Mereka makin deket ke sini!" bisik Amara ketakutan. Badannya sudah dingin.

"It's okay!" Reynov memeluk Amara menenangkan. Ia sudah terbiasa di situasi seperti ini. Ia bersiap dengan pistolnya.

"Tadi mereka lari ke sini!" kata Erik pada Robby. Ia mondar-mandir, frustasi.

"Kenapa tidak kamu bunuh Reynov?! Dia bukan bagian dari kita lagi!"

"Maaf. Erik nggak akan ceroboh lagi. Erik janji." kata Erik. "Kaki Papah kena tembak. Papah harus istirahat!" Erik melihat kaki Robby yang berdarah tergores peluru Reynov. Erik mendekat, berlutut, hendak membalut luka ayahnya dengan sapu tangan. Tapi, Robby justru menendangnya hingga jatuh.

"JANGAN PANGGIL SAYA PAPAH!" teriak Robby.

Erik tergolek di lantai terkena tendangan Robby. "Kenapa? Reynov aja boleh manggil Papah!" tanyanya. "Dia tadi bahkan menembak Papah! Kalau aja Papah nggak menyandera pacarnya, dia pasti udah menembak jantung Papah! Dia cuma sedikit menembak kaki Papah, karena takut pacarnya juga kena!"

"STOP PANGGIL SAYA PAPAH!" teriak Robby lagi. "Kenapa kamu sangat terobsesi memanggil saya Papah? It's just a term! You idiot!" Ia mengambil kursi dan memukulkannya berulang kali pada Erik.

"Ampun, Pah! Ampun! Ampun! Tolong berhenti!" Erik memohon.

Robby terus memukuli Erik. Erik yang bodoh dan selalu di peringkat terbawah di antara ketiga rekannya ini mengingatkan Robby pada dirinya sendiri. Ia jijik pada Erik. "Jangan panggil saya Papah! Itu hanya istilah! Kenapa kamu sangat ingin memanggil saya Papah?"

"Karena Erik emang anak Papah! Erik nggak pernah minta dilahirin ke dunia ini! Seenggaknya tolong akuin Erik sebagai anak Papah. Apa susahnya? Erik nggak punya siapa-siapa! Mama bahkan membuang Erik! Cuma Papah yang mau nerima Erik!" Erik memeluk kaki Robby dan menangis. Robby terus memukulinya.

Reynov dan Amara mendengar bentakan dan pukulan Robby. Suara pukulan itu sangat memilukan, seperti dulu saat hari penerimaan rapor sekolah yang selalu berujung hukuman cambuk. Amara mengintip. Kekejaman Robby membuatnya semakin ketakutan.

"Jangan lihat!" Reynov mengeratkan pelukannya serta memalingkan wajah Amara ke dadanya agar Amara tidak melihat penyiksaan itu.

"Pergi kamu! Jangan panggil saya Papah sampai kamu benar-benar berhasil di misi ini!" Robby mengibas-ngibaskan kakinya mengusir Erik. Tapi Erik terus memeluk kakinya, hingga Robby harus menembak lantai untuk mengusir Erik.

Suara tembakan itu menggelegar di tengah gudang yang sepi. Amara kaget dan spontan berteriak ketakutan. Sialnya, Robby mendengar suara teriakan Amara.

"Ssh! Ssh!" Reynov mendekap Amara, seperti menenangkan bayi menangis.

Robby menajamkan telinganya. "Saya tahu kamu di sini, Reynov!"

Robby mendekat ke sumber suara. Mengendap-endap, Reynov berjalan mundur sambil terus memeluk Amara, menyelipkan diri mereka di antara perkakas. Sesaat Amara melihat luka bekas tancapan pisau Erik di lengan Reynov yang terus mengeluarkan darah. Laki-laki itu terluka tapi masih bersedia melindunginya.

"Reynov, Kamu marah setelah tahu saya yang membunuh ayah kamu? Baik, saya minta maaf." kata Robby. Ia mengacungkan pistolnya, bersiaga jika Reynov muncul dari arah mana pun. "Tapi, lihat. Saya yang menyekolahkanmu ke Amerika. Saya yang bikin kamu jadi lawyer sukses, kaya raya. Anggaplah kematian ayahmu sebagai pengorbanan. Lalu sekarang kamu justru memilih anaknya Ali Sandi itu. Memangnya Ali Sandi mau menerimamu? Kamu cuma penjahat. Pejabat militer itu tidak akan rela anaknya bersamamu!"

Robby terus berbicara. Mengulur waktu. Ia berjalan tanpa suara, mencari Reynov, lalu saat ia lihat pantulan bayangan Reynov dan Amara dari kaki kursi yang mengkilat, ia menarik pelatuknya.

"AWAS!" Reynov langsung membawa Amara menghindar. Peluru Robby nyaris mengenai mereka. Reynov langsung mengacungkan pistol. Ia balas menembak Robby. Erik juga ikut menembak. Hujan peluru tak terelakkan, dan Reynov terus memastikan Amara aman berada di balik punggungnya.

Mendengar suara adu tembak itu, Ali Sandi di lantai bawah panik. "Ke mana pasukanmu? Selamatkan putri saya!" Ia histeris. Ia hanya punya satu pengawal tersisa. Pengawalnya yang lain telah dibius Robby dan disekap entah di mana.

"Baik, Pak!" Satu-satunya pengawal itu melesat pergi dan membantu Reynov.

Reynov merasa lega mendapat bala bantuan. Erik dan Robby mulai kewalahan. Amunisi mereka tinggal sedikit. "Kita harus mundur, Pah!" teriak Erik pada Robby. Robby setuju. Ia kabur bersama Erik, tapi Reynov berhasil menembak betis Robby. Robby terjatuh. Erik melindungi Robby sembari terus menembak, hingga mereka berhasil keluar dari ruangan itu. Lalu, di tengah pelarian, mereka bertemu Cassie.

"Cassie, lo di pihak siapa?" Erik memegang pundak Cassie. "Lo nggak ada artinya di mata Reynov. Lo masih mau nolongin dia?" Erik memprovokasi.

Cassie mengepalkan tangan. Bingung harus ada di pihak siapa. "Reynov mensabotase lift!" katanya. "Itu rencana dia untuk membunuh Bos!" Akhirnya ia memilih mengkhianati Reynov.

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now