[74]. Adrian And His Daughter

769 71 55
                                    

"Tidak bisa, Harry. Ayah tidak bisa mendukung keputusan mu yang satu ini."

Obama, ayah dari Harry tampak tidak minat terhadap apa yang diajukan Harry beberapa detik yang lalu. Pria berkepala empat itu sampai mematahkan pulpen di genggaman tangan nya hanya dengan cengkraman satu tangannya. Obama membuang muka, menatap luas dan indah nya pernak pernik lampu terang yang menerangi suasana malam di ibukota Amerika saat ini.

Harry tersenyum simpul, jawaban yang sudah dirinya tebak. Lagipula, Harry tau bahwa ini sangat tiba-tiba untuk Obama. Harry berjalan pelan menuju figuran besar yang ada di sudut ruangan, figuran berisi lukisan dari ibu Harry yang telah wafat.

"Aku tau akan jawaban mu itu, Ayah. Tapi, ini hidupku, aku yang menjalani hidupku sendiri tanpa tekanan dari siapapun. Setuju atau tidak, aku akan tetap pada pendirian ku."

Obama menggebrak meja kerja nya hingga bergetar, gigi nya juga bergemelatuk hingga menimbulkan bunyi akibat gesekan antara gigi itu.

"Keyakinan itu adalah Teroris, Harry bodoh!" Obama melempar vas bunga kecil berbahan keramik yang siap menghantam kening Harry.

Hap!

Vas bunga ber keramik itu di tangkap oleh Harry dengan satu tangan nya saja hingga vas itu tidak mengenai kulit kepala nya. Harry melirik Obama dengan lirikan tajam nya.

"Tidak ada keyakinan yang teroris wahai tuan besar. Semua nya sama menyembah satu Tuhan. Kau tau sendiri bahwa di dunia ini tidak ada keyakinan yang salah, tapi, kau menutup mata akan itu semua dan mempercayai berita-berita hoax yang dibawakan media kita. Aku, atau kau yang bodoh ayah?"

"Diam kau! Tidakkah kau perhatikan bahwa yang berkeyakinan seperti itu adalah orang-orang kecil yang lemah? Kau ingin lemah huh?! Kau ingin meninggalkan semua impian yang telah kau capai?!"

"Shut the fuck up! Itu tidak ada urusan nya dengan mu! Lagipula, sejak kapan aku bilang bahwa aku akan meninggalkan karir ku? Telinga mu butuh pembersihan."

Harry melangkah pergi, dia membuka pintu lalu menutup nya dengan kaki. Meninggalkan Obama yang kini menetralisir nafas nya akibat amarah nya kepada sang anak tunggal, Obama merogoh ponsel dan mendial nomer orang kepercayaan nya.

"Yes, boss. Why you call me? Is there anything you want to order?"

Obama menarik sudut bibir nya hingga membentuk senyuman miring. "follow and investigate my son. Find out what made him want to change his faith."

"Sure, boss, anything you need."

Panggilan terputus. Obama meletakkan kembali ponsel nya keatas meja. Saraf-saraf di otak Obama sedang menari-nari memikirkan mengapa putra semata wayang nya itu tiba-tiba mengumumkan keputusan yang tidak pernah Obama sangka.

Bagaimana Obama bisa tidak kaget? Sebelumnya, Harry adalah seorang yang sangat taat pada Keyakinan nya yang sekarang, sangat dan begitu taat, sangat rajin beribadah setiap minggu dan selalu berdoa menyebut nama-Nya. Dan sekarang, apa yang membuat pemuda berusia hampir dua puluh tahun itu ingin berpindah? Obama semakin tertarik untuk mengetahui alasan dibalik itu semua.

"Biarkan saja dia, Obama. Jangan menghalangi Harry untuk melakukan apapun yang ia suka, aku yakin niat nya bukan untuk hal yang buruk."

Hermes, kakek dari Harry yang meskipun tubuhnya terlihat tua juga rambut yang beruban, Hermes dengan gagah nya masuk tanpa kendala pada fisik nya yang mulai bau tanah.

Obama melirik, tumben sekali pak tua ini mau mengunjungi perusahaan nya. "Dia anakku. Aku bebas dalam hak nya." Geramnya.

Hermes tertawa kencang. Tawa yang begitu renyah untuk di dengar. "Anakmu kau bilang? Jangan lupakan fakta, Obama. Dari dulu hingga sekarang, Harry bukan anakmu."

Boboiboy X Reader (Possesive Husband) Where stories live. Discover now