30. Harsa Husna

3K 346 212
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤBahagia seperti apa yang Husna inginkan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Bahagia seperti apa yang Husna inginkan?

Awalnya Husna berpikir jika bahagia yang dia inginkan adalah ketenangan. Karena itu dia beberapa kali sempat berpikir untuk menjemput "ketenangannya" sendiri.

Tapi, satu tahun terakhir Husna belajar banyak hal. Salah satunya adalah kebisingan yang juga bisa membuatnya bahagia.

"Sarung aku di mana sih? Tadi di sini perasaan."

Husna menghela napas, ini salah satu contohnya. "Coba cari di tumpukan baju di keranjang."

"Pecinya?"

"Udah kamu pakai, Husain!"

"Oh iya hehe. Kamu jangan lama-lama ya." Husain segera memakai sarungnya dan keluar untuk menemui Ayah dan Bunda sebelum ke aula.

Ini adalah hari pelepasan atau kelulusan Husain dan Husna. Tiga bulan terakhir berjalan dengan lancar. Husna bersyukur dia bisa lulus walaupun dengan nilai yang biasa saja, berbeda dengan Husain yang masuk jajaran lulusan terbaik.

"Husna, ayo sarapan dulu, nduk." Suara Bunda terdengar lagi, tadi Husna sudah disuruh untuk segera keluar, tapi dia masih mencari peniti untuk hijabnya.

"Husna." Bunda kali ini langsung menghampiri Husna.

"Bunda, penitinya ga ada." Husna juga ikut panik karena hari semakin siang.

"Aduhh, ayo keluar dulu aja sambil sarapan, Bunda ambil dulu di kamar Bunda."

Husna mengangguk dan mengikuti Bunda keluar lalu ikut bergabung di meja makan. Sebenarnya acaranya masih satu jam lagi, tapi para santri harus sudah siap setengah jam sebelumnya.

"Mau sarapan apa" tanya Husain sambil memegang piring.

"Aku engga mau sarapan."

"Harus," ucap Husain dan Bunda berbarengan.

"Nanti kamu lemas kalo ga sarapan, kasihan dedeknya," ucap Bunda lagi sambil mendekat dan memberikan peniti lalu membantu Husna merapikah hijabnya.

"Sedikit aja tapi ya?" ucap Husna pelan.

"Iya sini, mau apa." Husain menarik Husna untuk duduk si sebelahnya.

"Vitamin kamu mana, Na?" tanya Bunda.

"Ini." Husain yang menjawab sambil menunjuk kotak vitamin yang dia bawa.

Bunda mengangguk dan ikut sarapan bersama Husna dan Husain, hanya bertiga sebab yang lain sudah sarapan duluan.

Bicara tentang Bunda, awalnya Bunda memang merasa kecewa, bukan karena Bunda menolak kehamilan Husna, hanya saja mereka masih terlalu kecil. Bukan hanya tentang mental, tapi fisik Husna juga rentan untuk hamil apalagi kembar. Tapi setelah beberapa waktu, Bunda hanya bisa menerima, selama anak dan menantunya bahagia, Bunda tidak mungkin terus menolak.

Harsa HusnaWhere stories live. Discover now