0,014

464 27 0
                                    


Pagi ini, kecemasan mulai menyelimuti pikiranku. Biasanya, pada jam segini, Ratih sudah pulang dari sawah dan kami akan sarapan bersama. Namun, kali ini dia belum juga muncul. Perasaan gelisah dan khawatir tak bisa aku tahan lagi. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Pekerjaan di sawah bisa sangat melelahkan, dan aku tidak bisa duduk diam sementara Ratih mungkin sedang kesulitan.

Aku memutuskan untuk menyusulnya ke sawah. Meskipun belum pulih sepenuhnya, aku tidak bisa tinggal diam. Masalahnya, aku tidak tahu jalan menuju sawah tempat Ratih bekerja. Aku butuh bantuan, dan satu-satunya pilihan adalah bertanya pada tetangga sebelah.

Aku melihat seorang ibu-ibu sedang menyapu halaman rumahnya. Dengan langkah perlahan, aku mendekatinya, mencoba menenangkan kegugupanku.

"Permisi, Bu. Maaf mengganggu," sapaku dengan suara sopan.

Ibu itu menoleh, menatapku dengan ramah. "Iya, nak. Ada apa?"

"Maaf, Ibu Eha, bukan? Saya mau tanya, apa Ibu tahu Ratih bekerja di sawah mana?"

Wajahnya tampak sedikit terkejut, kemudian tersenyum. "Oh, ini nak Galuh ya, yang ditolong Ratih? Kamu lurus saja, habis pertigaan belok kanan. Kemarin ibu lihat Ratih bekerja di sawah itu."

Aku merasa sedikit lega mendapatkan arah yang jelas. "Iya, Bu. Saya orang yang ditolong Ratih. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan pergi ke sana sekarang."

Ibu Eha mengangguk, tetap menyapu halaman rumahnya. "Iya, nak. Hati-hati di jalan, ya."

Aku mengangguk dan segera bergegas mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Bu Eha. Meski masih merasakan sedikit sakit di tubuhku, kekhawatiran akan keadaan Ratih memberiku kekuatan untuk terus berjalan.

Jalan desa ini terasa sunyi, hanya ditemani suara burung dan angin yang berhembus lembut. Setiap langkah yang aku ambil semakin menambah kegelisahan di hatiku. Aku berharap tidak ada hal buruk yang menimpa Ratih. Dia telah banyak membantuku, dan aku ingin memastikan dia baik-baik saja.

Setelah berjalan cukup jauh, aku melihat pertigaan yang dimaksud Bu Eha. Aku belok ke kanan, dan di kejauhan aku melihatnya, perasaan cemas kembali menyelimuti hatiku saat mendekati pohon besar di pinggir sawah aku melihat Ratih bersama seorang pria yang kemarin datang membawa bunga, iya itu adikara.

Dari kejauhan aku bisa melihat Ratih yang tampak  ketakutan. Adikara mencengkram tangannya dengan kuat wajahnya penuh amarah. Hatiku berdegup kencang saat melihat adikara mencoba mencium Ratih dengan paksa. Ratih meronta, air matanya mengalir deras. Tanpa pikir panjang, aku berlari secepat mungkin ke arah mereka.

"Hei!" teriakku, mendorong Adikara dengan kuat hingga dia terhuyung. "Lepaskan dia!"

Adikara menatapku dengan kemarahan membara. "Kauu...," katanya dengan nada mengancam.

Tanpa basa-basi, aku memukul wajahnya dengan seluruh kekuatan yang kumiliki. Adikara terjatuh, terkejut dengan seranganku yang tiba-tiba.

"Beraninya kau memaksa Ratih! Dia bilang tidak mau, tapi kenapa kau tetap memaksanya?!"

Adikara bangkit dengan cepat, menatapku tajam. "Kau siapa, huh? Kenapa kau ikut campur urusanku!" bentaknya.

"Tentu saja ini urusanku! Kau hendak memperkosanya!" balasku, menatapnya dengan penuh kebencian.

Wajah Adikara semakin merah, dia menggeram marah. "Baiklah, kau telah bermasalah dengan orang yang salah!" Dengan cepat, A menepis seranga enyerangku. Aku in memukul perutnya. Perkelahian tak dapat dihindari Kami saling

bertukar pukulan di bawah pohon besar itu. Ratih menjerit di belakangku, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus melindunginya.

Saat aku lengah, Adikara memanfaatkan kesempatan itu. Dia memukul kepalaku dengan keras. Dunia berputar dan aku tersungkur ke tanah. Rasanya seperti semua tenaga tiba-tiba menghilang dari tubuhku.

"Galuh! Bangun! Hiks..." Aku bisa mendengar suara Ratih yang penuh kekhawatiran dan tangis. Dia segera menghampiriku, menopang kepalaku di pangkuannya.

"Galuh, tolong bangun..." Mataku mulai buram, tapi aku bisa melihat dua orang bapak-bapak yang pulang dari sawah mendekat. Ratih berteriak meminta tolong. Kedua bapak-bapak itu segera menghampiri kami, wajah mereka penuh keterkejutan.

Adikara, yang melihat kedatangan mereka, langsung berlari. Dia takut akan dilaporkan kepada bapaknya dan dikurung. Aku mencoba membuka mataku lebih lebar, melihat Adikara yang berlari menjauh.

"Bantu kami, tolong!" Ratih memohon kepada dua bapak-bapak itu. Mereka segera mengangkat tubuhku yang lemah dan membawaku ke tempat yang lebih aman. Ratih tetap berada di sampingku, memegang tanganku dengan erat, air matanya terus mengalir.

"Galuh, kau harus bertahan. Jangan tinggalkan aku, tolong..." bisik Ratih dengan suara gemetar. Aku mencoba memberikan senyum lemah untuk menenangkannya.

"Aku  baik-baik saja, Ratih." Ucap Galuh dengan lirih

POV Ratih

Aku menopang kepala Galuh yang terkulai lemah di pangkuanku. Kedua bapak-bapak yang tadi datang, Parman dan Pak Tatar, segera bergegas untuk membantu. Mereka menawarkan bantuan agar Galuh dibawa ke saung di dekat sawah. Dengan hati-hati, kami mengangkat tubuh Galuh yang tidak sadarkan diri dan membawanya menuju saung yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berada.

Setibanya di saung, kami merebahkan Galuh dengan hati-hati. Aku tetap di sampingnya, mengusap keningnya yang berkeringat. "Galuh, tolong bertahan," bisikku dengan suara bergetar.

Pak Parman dan Pak Tatar berdiri di dekat pintu saung, wajah mereka penuh keprihatinan. Pak Tatar, seorang pria yang lebih tua dengan rambut yang mulai memutih, memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Ratih, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Kang Adikara memaksa aku menjadi kekasihnya, tapi aku menolak. Dia marah dan menarikku ke dekat pohon besar. Dia mencoba menciumku dengan paksa, tapi gagal karena Galuh datang dan melindungiku. Mereka berkelahi, dan... dan itulah yang terjadi."

Pak Tatar menggelengkan kepala dengan penuh penyesalan. "Memang pemuda itu sifatnya sementara mena. Kita harus melaporkan ini kepada ayahnya agar ia diberi hukuman yang setimpal."

Aku menunduk, air mata kembali mengalir di pipiku. "Aku takut, Pak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita melaporkannya."

Pak Parman, yang lebih muda dan bertubuh kekar, menepuk pundakku dengan lembut. "Ratih, kami akan membantumu. Adikara tidak bisa terus berbuat semena-mena. Ini sudah keterlaluan."

Aku memandang Galuh yang terbaring lemah di depanku. "Terima kasih, Pak Parman, Pak Tatar. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan tanpa bantuan kalian."

Pak Tatar mengangguk. "Yang penting sekarang kita pastikan Galuh baik-baik saja."

Aku mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran mereka. Meski ketakutan masih menghantui, aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Ada orang-orang di desa ini yang peduli dan siap membantu.

Kekasih Terlarang (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang