48

2.3K 150 4
                                    

🏔️ Arjuna

Dan datanglah hari yang aku nantikan selama ini kami berdiri dan Romo berkata "Tiba saatnya untuk meresmikan perkawinan saudara, saya persilahkan untuk mengucap janji pernikahan disusul dengan memasang cincin ke jari manis pasangan saudara, satu per satu,"

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan seluruh pikiranku dan hanya terfokus pada Rinjani ku yang juga sudah melempar tatapan teduh dan percaya itu padaku.

"Saya Rodemtus Arjunan Ananta memilih engkau Swastika Ayunda Rinjani menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup saya," aku yang sebelumnya memang telah sama-sama berpegangan tangan dengan Rinjani kini mengambil tangan kanannya dan memakaikan cincin berwarna silver ini ke jari manisnya, cincin polos sesuai permintaannya tapi terukir nama ku di balik nya, dia tersenyum.

Kemudian bude Duri yang menjadi wali nikah kami menyodorkan mic ke arah Rinjani, dia tersenyum dan aku mengangguk untuk memberinya dukungan "Saya Swastika Ayunda Rinjani memilih engkau Rodemtus Arjunan Ananta menjadi suami saya. Saya berjanji setia kepadamu......" dis terisak kecil namun bude Dari mengelus punggungnya pelan dan Jani mengangguk lagi "Dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit," dia tersenyum lagi padaku, mungkin benar-benar meyakinkan diri bahwa pilihan ini memang sudah tepat  "Dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup saya," seorang misdinar memberikan cincin ku kepada Rinjani, dia menerimanya kemudian memasangkan itu ke jari manis ku, cincin kami sama persisi hanya berbeda ukuran dan ukiran di dalamnya.

Setelah itu Romo mempersilahkan aku untuk mencium istriku, aku mencium dahinya dan menyelipkan doa doa baik disana untuknya, entah apa yang aku lakukan hingga hal-hal baik datang hampir bersamaan belakangan termasuk Rinjani, wanita pilihanku yang juga memilihku.

Tepuk tangan para hadirin di sakramen perkawinan kami terdengar di telingaku, kami menatap mereka dan mereka juga nampak bahagia, aku melirik ibu yang sedang di dampingi oleh adik kandung ayah sebagai ganti wali ayahku sudah menangis bahagia dan mengangguk padaku.

Mama Hera dan papa Ares juga nampak bahagia, berkali-kali papa mengusap punggung mama, dan tibalah saatnya untuk sungkem ke para orang tua kami, aku menggandeng Jani untuk menuju ke orang tua kami.

Pertama yang aku tuju adalah ibu, aku berlutut di depannya dan menundukkan kepala ku ke pangkuannya untuk meminta restu, ibuk mengusap punggung ku dan berucap "Selamat ya mas, sekarang mas sudah menjadi suami Jani, bimbing keluarga kecil kalian dengan baik, tidak perlu terburu asal selalu di jalan yang benar, ibu gak nuntut banyak hal, jangan sakiti Jani, kamu yang mengambil dia dari kedua orang tuanya, jangan memberatkan hidupnya setelah ini, setia itu mahal sekali gak ada gantinya mas jadi jangan pernah kecewakan dia ya, kalau kalian berencana punya anak tolong benar-benar pantaskan diri dulu, keluarga sehat kuncinya di istri yang bahagia, ya mas?"

Aku mengangguk, menangis dan seperti de Javu dengan sungkeman kemarin sore saat acara siraman.

Ketika tiba saatnya aku meminta restu pada mama Hera, mama langsung memeluk ku, tangisnya disana pecah tapi coba aku redakan "Tolong jaga anak mama ya Jun, kalau salah kamu kasih tahu, jangan pernah kamu pukul ya, papa dia gak pernah mukul dia, kalau dia gak bisa masak menu yang kamu mau kasih waktu dia untuk belajar, kamu jangan minta masakin perempuan lain kecuali beli ke mbak-mbak warung, ya? Kalau kamu selingkuh mama yang seret kamu ke depan Romo, ya?" Aku bingung harus takut, sedih atau tertawa, dan sekarang mama sudah mencium pipiku dan memberiku berat di dahi "Sana geser ke papa kamu!" Pintanya.

Aku geser ke papa Ares, kemudian sungkem padanya "Pa, Juna ijin mengajak Jani hidup bersama ya," papa menepuk punggung ku "Jun, jaga Jani sebaik mungkin, ajari banyak hal yang baik dan berkembang lah bersama untuk apa pun itu, kalau kamu ada yang gak sreg tentang dia atau sedang marah kamu bilang ke mama ya, jangan ke ibu kamu, karena Jani anak kandung mama jadi mama yang lebih bisa kasih kamu saran, jangan sampai ngeluh ke papa soal kamu yang capek nanganin dia, itu sudah tugas kamu bukan papa lagi, papa gak mau ikut campur di rumah tangga kalian,"

"Papa juga minta jangan pernah pukul dia ya Jun, kalau kamu butuh melampiaskan kemarahannya dengan pukul, cari papa langsung, papa gak akan marah, ya?" Aku mengangguk.

Setelah rentetan acara sakramen pernikahan ini selesai, kami berfoto bersama kemudian Joana memberi kami waktu untuk sesi foto beberapa saat, setelahnya aku dan Jani diminta untuk segera masuk kembali kedalam mobil pengantin kami.

Aku tersenyum menatap Jani yang cantik mengenakan kebaya putih dengan membawa buket bunga mawar merahnya "Lega yang?" Tanyaku, dia menatapku dan mengangguk.

"Maaf ya mas tadi waktu aku ucap janji aku terbata," aku menggeleng "Gak apa-apa, aku sudah bahagia banget kamu memilih tetap melanjutkan mengucap janji pernikahan kita, makasih buat gak lari dari pilihan yang sudah kita pilih bersama," Jani tersenyum.

"Kamu kok tadi lancar banget mas ngucapinnya?"

"Awalnya grogi kok, takut salah atau ada yang kurang, tapi lihat kamu yakin ke aku, aku jadi percaya kalau semua akan baik-baik aja,"

Tiba-tiba suara ketukan pintu kaca mobil kami terdengar, ternyata dari sisi Jani, dia membuka kaca jendelanya dan menemukan Olin disana "Kenapa Lin?"

"Ini ponsel kamu sama mas Juna, gak apa-apa bawa aja karena sesi make up setelah ini kayaknya kalian di ruangan yang beda, bawa masing-masing deh biar tetep tahu,"

"Oke oke makasih luv!" Balas Jani.

"Jani! Jangan panggil aku luv lagi, kamu dah punya suami yang beneran luv kamu!"

"Gak boleh iri!" Ledek Jani.

"Ish!" Dia kesal dan aku tertawa.

"Lin, buruan!" Rama sudah menyusul Olin dan dia mengintip kami di dalam beberapa saat "Mas, mukbang nya ntar aja ya, itu bajunya biar rapi dulu, tadi kata fotografer nya dia mau ambil foto kalian lagi pakai baju yang ini pas balik hotel,"

"Okeh aman!" Balasku.

"Mukbang mukbang pala Lo!" Jani menoyor Rama tapi anak sinting itu malah tertawa.

"Udah bawa sana Olin sedih muluk kayaknya lihat aku nikah, gak seneng apa ya?" Tanya Jani.

"Aku tuh seneng cuma masih gak terima aja kalian nikah secepat ini!"

"Iri kan berarti?" Jani masih ngeyel.

"Sayang ......" Aku mengingatkan.

"Sudah sama Raden mas Rama aja neng, dijamin bahagia deh!" Goda Rama pada Olin.

"Dih!" Olin meliriknya malas.

"Apa mau sama Naga? Jomblo juga tuh, tapi ntar dipatok loh sama Naga nya, mau kamu?" Rama makin gencar menggoda gadis itu.

"Otak kamu tuh emang butuh di laundry Ram!" Olin menoyor kepala Rama kemudian menyuruh kami segera pergi "Udah mas jalan aja ya balik hotel, hati-hati, kalau mereka make out turunin aja di pinggir jalan!" Ucap Olin pada driver mobil kami.

"Dah dah balik sama aku, orang cemburu emang susah!" Rama menarik tangan Olin dan akhirnya dua orang ini menjauh.  

"Iya ya yang kita belum kiss kiss loh!" Aku menggoda.

"Gila, malu sama mas nya tuh!" Jani langsung memukul wajahku dengan buket di tangannya dan akhirnya mobil kami berjalan meninggalkan parkiran gereja.

Juna Jani, I Love You Pak Kos! [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora