~ Diary Azzam ~ Chapter 004.

60 9 4
                                    

"Selain Sang Maha Pencipta, kertas dan pena tidak pernah gagal menjalankan peran nya menjadi pendengar"

00.00

Happy Reading.

.
.
.

Di sebuah kamar bernuansa hitam dan abu-abu, seorang remaja laki-laki sedang duduk di kursi meja belajar nya. Bukan tanpa alasan dia memilih warna hitam dan abu-abu sebagai dekorasi pada dinding kamar nya itu. Dua warna tersebut adalah gambaran hidup nya sekarang. Gelap dan suram, tanpa ada warna lain yang dapat menjadikan hidup nya lebih berwarna.

Jari kanan milik nya dengan lihai menari di atas sebuah buku catatan. Buku catatan itu, dia anggap sebagai pendengar kedua setelah Sang Maha Pencipta. Sebuah buku catatan yang rela menampung semua keluh dan kesah remaja laki-laki itu. Walaupun tanpa mendapatkan balasan dari 'Tuan nya ' itu, setidaknya dia tidak akan mendengar kata "Luka mu tidak seberapa".

Sampul depan pada buku catatan itu tertulis judul " Diary Azzam ". Judul tersebut dibuat sendiri oleh Sang pemilik nya.Setiap untaian aksara di dalam buku itu berisi tentang doa, harapan dan keinginan yang terpendam di dasar relung hati nya. Dia memilih diam, bukan berarti dia tidak bisa marah atau pun memberontak.

Semua emosi dan amarah nya, dia tuangkan dalam bait aksara pada buku catatan itu. Kadang kala, dia juga ingin meminjam telinga seseorang untuk dijadikan pendengar . Namun, dia masih belum bisa percaya akan hal itu. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini hanya Liana, wanita yang dia sebut sebagai "Bunda". Tidak ada orang lain selain beliau. Atau mungkin, segera ada yang lain?.

Malam semakin larut, tetapi tidak membuat jari kanan milik remaja itu berhenti untuk menulis. Seakan dia sedang meluapkan semua kata yang dia pendam untuk hari ini. Raut wajah nya menggambarkan bahwa dia sangat ingin berteriak dengan kencang dan mengatakan "Tuhan, aku lelah. Aku ingin bahagia Tuhan! Kapan bahagia itu akan datang?".

Tetapi bibir nya kelu untuk mengatakan itu. Semakin dia ingin berteriak, semakin bibir nya terkunci dengan rapat. Seolah ada sebuah gembok yang berhasil mengunci nya. Kertas yang awalnya berwarna putih bersih, kini penuh dengan coretan tinta hitam hasil goresan tangan sang pemilik buku.

' Tuhan, Aku lelah. Aku rindu dekapan hangat kedua orang tua ku.'

'Aku ingin kebahagiaan itu kembali terpancar pada wajah mereka'.

'Kebahagiaan tulus seperti pada saat Engkau meniupkan kehidupan dalam rahim mama ku'.

'Kehidupan itu adalah Aku, janin yang Engkau titipkan untuk mereka rawat nantinya'.

'Mereka menjaga ku bak permata yang tidak boleh tergores sedikit pun.'

'Saat pertama mendengar suara tangisan pertama ku, mereka mengucapkan banyak rasa syukur kepada- Mu'.

'Raut bahagia sangat jelas terpancar. Mereka mengatakan "Putra kedua kami sudah terlahir!Dan kami sangat bahagia'.

Tangan kanannya berhenti menulis. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan tulisannya. Menguatkan diri untuk menyelesaikan deretan aksara itu. Setelah sudah kembali dapat mengontrol perasaan milik nya, dia kembali menggoreskan tinta hitam pada kertas putih tersebut.

'Tetapi, mengapa pada saat permata mereka tidak secantik dulu, dengan tega mereka langsung membuangnya?'.

'Hanya karena permata itu sudah cacat, mereka malu untuk mengakuinya'.

'Mereka anggap, kekurangan permata kedua mereka adalah 'aib' keluarga'.

'Kasih sayang mereka langsung hilang begitu saja. Hancur, lebur tak tersisa sedikit pun'.

Diary AzzamWhere stories live. Discover now