11 | The Other Ex

119 12 3
                                    

KURSOR yang berkedip-kedip di depan mata seolah asyik meledek Namjoon. Sebenarnya dia tidak perlu secepat itu membuka laptop setelah diskusi tentang sampul buku dan suntingan naskah terakhir diserahkan. Sebagaimana semua penulis yang menulis buku mereka seorang diri, Namjoon berhak mengambil banyak waktu untuk beristirahat dan mematangkan ide. Namun, tubuhnya seakan merasa bersalah jika tidak memproduksi sesuatu. Setidaknya satu kalimat untuk menenangkan syaraf.

Setelah sekian tahun berkutat dalam rutinitas serupa, buntu ide tetap menjadi hal yang tidak pernah bisa membuat Namjoon terbiasa. Lagipula, dia harus sibuk supaya tidak berakhir mengiba diri sendiri. Bekal makan siang Seokjin sudah dikirim beberapa jam lalu dan tiada pesan atau telepon singkat dari pria itu. Bukannya Namjoon mengharapkan ucapan terima kasih, tapi apakah sesulit itu memberi secuil apresiasi? Ah, sudahlah. Toh, Seokjin tidak secara pribadi memintanya. Namjoon yang berinisiatif.

Mencomot biskuit susu dari cawan, kunyahan pertama mendatangkan cita rasa nostalgia yang nyaman. Menyandarkan punggung pada bantalan kursi, Namjoon mengingat-ingat interaksi singkatnya bersama Seokjin pagi tadi. Namjoon bukan sepenuhnya tidak acuh pada fakta bahwa Seokjin terbangun lebih dulu dan dilanda kelaparan. Namun, dia hanya ingin mengukur seberapa jauh Seokjin berani menginvasi ruang pribadinya. Apakah kelancangan dalam berbicara akan selaras dalam bertingkah? Nyatanya tidak. Seokjin rupanya masih segan menganggap apartemen Namjoon sebagai kediamannya juga.

Suara pintu terbuka menegakkan kewaspadaan Namjoon. Belum sempat menyapa, pandangan menangkap sosok Seokjin dengan tampilan yang lebih santai. Lenyapnya dasi biru tua dari leher, jas yang disampir pada lengan, dua kancing kemeja teratas yang terlepas, serta rambut yang tak lagi paripurna memamerkan dahi. Namun, aroma hangat dari parfum yang bertahan akibat pendingin ruangan tetap menempel pada Seokjin, bahkan dari jarak beberapa meter.

"Welcome home," sambut Namjoon sambil meminta tas dan kantung bekal Seokjin yang ditolak dengan halus.

"I'll handle it. Can I use the dishwasher?"

Tercenung separuh tidak percaya, Namjoon hanya sanggup mengangguk seraya membiarkan Seokjin menaruh tas kerja dan jas ke kamar, sebelum mencuci kotak makannya. Ada sensasi aneh datang menggelitik tengkuk Namjoon tatkala menatap punggung Seokjin yang sama sekali tidak canggung menggosok peralatan makan menggunakan spons bersabun.

Selepas mengeringkan tangan dengan kain lap yang tergantung di gagang pintu oven, Seokjin berbalik ke arah Namjoon sambil mengernyitkan alis. "Something's wrong?"

Menetralkan ekspresi, Namjoon mengedik bahu sekilas lantas bergegas membereskan kekacauan di meja makan yang dia pakai sebagai meja kerja darurat. Menunggu Seokjin selesai mandi, Namjoon pun menyajikan hidangan yang sudah dipanaskan sejenak. Makan malam sederhana, sebatas sup ayam rempah dan telur dadar, serta sisa santap tadi siang.

Seokjin yang keluar dari kamar mandi segera menggantung handuk basahnya di dekat balkon, tempat Namjoon biasa menjemur pakaian separuh kering. Mengusak belakang kepala dari bulir air, Seokjin duduk di hadapan Namjoon dan mengambil teko kaca untuk mengisi gelasnya yang kosong. Kabut tipis dari nasi panas di dalam mangkuk bergabung bersama asap lain dari masakan yang berbaris rapi di belakangnya, menyatu membentuk aroma penggugah selera makan.

Meraih sumpit, Seokjin menjumput daging dari potongan ayam pada supnya yang langsung terlerai tanpa banyak usaha. Tak jauh berbeda dengannya, Namjoon melakukan hal serupa. Mengunyah dalam bisu, berusaha menikmati masakan yang luar biasa nikmat dengan pikiran berkecamuk riuh. Sekitar lima menit sibuk dengan isi kepala masing-masing, Namjoon adalah orang yang pertama kali membuka pembicaraan kembali.

"Something terrible happened at work?"

Melirik ragu reaksi sang suami atas pertanyaan yang mungkin akan dijawab melalui desis tak suka dan sepatan, "Bukan urusan lo", Namjoon justru dibuat tertegun dengan respons yang berkebalikan.

"It was, but thanks for the lunch. I feel better."

Bukan hanya membalas dengan intonasi normal, pujian pun mampir pada perkataan Seokjin. Menerbitkan sensasi geli singkat pada tengkuk Namjoon yang refleks menjangkaunya.

"How was your solo honeymoon?"

Tidak menyangka akan mendapat tanggapan lanjutan, beruntung Namjoon telah terlatih memberi balasan dengan sangat responsif. "My solo honeymoon? It was fine."

"Found cute chicks?"

"Plenty, but not interested."

"So, nothing much happened?"

Hampir melayangkan nada bercanda karena kekasualan nada bicara Seokjin, mulut Namjoon terkatup sejenak untuk memproses jawaban. Telur dadar bawang di dekat mangkuk supnya mendadak terlihat berkilauan di bawah lampu.

"What could possibly happen?" Namjoon meletakkan potongan telur dadarnya di atas gunungan kecil nasi pada sendok. "Never in the mood for one night stand."

"Bukan, maksud gue–" ucapan Seokjin terhenti ketika ponsel salah seorang dari mereka berbunyi. Dari nada dering yang asing, tentu itu bukan miliknya, melainkan Namjoon.

"Excuse me for second. " Meninggalkan meja makan berikut penukasan Seokjin barusan, punggung Namjoon menjauh dari tempat duduk menuju sofa ruang tengah.

Memperhatikan perawakan Namjoon di balik setiap lumatan nasi dan lauk-pauk, benak Seokjin membayangkan betapa bodoh mantan kekasih pria itu. Bagaimana bisa dia melepaskan sosok yang nyaris tanpa cela seperti Namjoon? Jago memasak, kecerdasan linguistik di atas rata-rata, penguasaan emosi yang patut diacungi jempol, dan kesadaran pribadi yang tinggi. Di luar paras tampan dan digdaya keluarga, Namjoon adalah paket sempurna yang dicari dari seorang bujangan.

Tunggu, sejak kapan Seokjin menyangka jika Namjoon-lah yang dicampakkan? Walaupun dari sikapnya yang serba mengalah itu sudah bisa dipastikan jawabannya. Tidak mungkin Namjoon tega mengakhiri hubungan secara sepihak.

Aku nggak suka perselingkuhan.

Oh, benar. Seokjin ingat Namjoon pernah menentang usulan tentang hubungan tambahan mereka bersama orang lain di luar pernikahan. Mungkin Namjoon diselingkuhi? Kendati demikian, toh, Namjoon tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan Seokjin untuk saat ini.

Namjoon menghampiri meja makan dengan ekspresi datar. Tiada indikasi senang atau kesal yang tertinggal dari panggilan tadi yang tertinggal pada wajahnya. Entah mengapa, saklar penasaran Seokjin menyala sekarang. Alih-alih melanjutkan ucapan yang terpotong di tengah-tengah percakapan, dia justru bertanya dengan warna suara seringan mungkin.

"Siapa?"

"My ex."

"From the last five months?"

Memahami rasa keingin tahuan Seokjin yang mencuat perlahan, Namjoon yang semula sudah memegang sumpit pun meletakkannya kembali. Satu sudut bibirnya terangkat. "Curious much?"

"Not as you imagined." Keki karena langkah yang tertebak telak, Seokjin hampir memaki karena brokoli dari ujung sumpitnya selalu meleset dari capitan. "Bukan berarti gue kepo, andaikan lo nggak mau bilang–"

"My other ex, from one night stand."

Ternyata itu alasannya.

••

WHIRLWINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang