17 | Confused

243 20 6
                                    

DICAMPAKKAN memang tidak pernah ada dalam kamus percintaan Seokjin. Sepanjang hidupnya, dia hanya pernah meninggalkan tanpa perlu menangisi perihnya ditinggalkan. Jadi ketika malam di mana Taehyung memutuskan hubungan mereka secara sepihak, Seokjin cenderung berang dibanding sedih. Karena itulah dia menenggak sebotol Dewars milik Hoseok tanpa tedeng aling-aling. Karena dia merasa kalah, merasa kalah lekas dibanding sang mantan dalam melepas.

Seokjin terbiasa untuk selalu mengalkulasi setiap keputusan dan tindakan. Kebiasaan yang dibentuk karena tuntutan pekerjaan dan terbukti sukses menarik perusahaan dari jurang kebangkrutan. Strategi Seokjin senantiasa matang, bahkan cemerlang karena berhasil mengantisipasi segala halang rintang. Sikapnya luwes, dan dia tahu betul bagaimana cara menghadapi berbagai watak orang. Seokjin sangat percaya diri dalam menjalin kerja sama dan berelasi seluas-luasnya karena pemahamannya akan sifat manusia.

Namun, dia gagap total ketika berhadapan dengan Namjoon. Prediksinya kerap meleset jauh tak terkira, antisipasi yang dia persiapkan pun seringkali sia-sia. Namjoon sangat tidak mudah ditebak dan tindakannya terkadang meledak-ledak. Ada kalanya pria itu bisa sangat submisif dan menurut, ada kalanya pula dia berubah begitu tegas dan menuntut. Bila Seokjin perhatikan lagi, Namjoon yang terlihat kaku pun sebenarnya luar biasa jahil bak anak kecil.

Namjoon amat tidak terduga dan Seokjin kebingungan karena otaknya mulai memproses banyak prasangka, terutama tentang tabiat asli suaminya. Seberapa jauh kesabaran Namjoon bisa diuji? Seberapa tangguh pria itu mampu menguasai emosi meski sambil menggerit gigi? Seokjin setengah mati penasaran, tapi dia tidak pernah setakut ini untuk bergerak nekat memuaskan keingin tahuan.

"Oh, kamu masih di sini?" Sapaan Namjoon usai mengunci pintu, menyunggingkan senyum kecut dari Seokjin yang ketahuan tengah menunggu.

"Aku–GUE nggak lagi nungguin lo!"

Mengerjap heran, seringaian iseng Namjoon terulas miring. "Kayaknya aku nggak bilang kalau kamu lagi nungguin?" sengaja menekan intonasi pada kata terakhir, lemparan bantal dari Seokjin dielak Namjoon dengan suka cita.

"Gue cuma ogah dituduh sepihak sama nyokap! Bisa aja malam ini gue dapat bukti kalau lo sama bejatnya!" Tuding Seokjin tidak terima.

"Iya, iya. Paham. Jadi udah dapat buktinya?"

Mendengus jengkel, Seokjin melewati Namjoon yang setia berdiri sejajar dengan meja kopi. Menyebalkan sekali. Amarah pada hubungan yang kandas belum juga usai, tapi keisengan suaminya seakan tak pernah selesai.

Membuka kran wastafel, guyuran air dingin membasahi wajah Seokjin. Cermin dihadapan yang selalu bersih dari bekas kering titik-titik air, menampilkan parasnya yang ternyata telah memerah hingga mencapai telinga dan leher. Menyentuh pipi menggunakan punggung tangan, sensasi hangat menjalar dengan memalukan. Tidak merasa pening atau nyeri, Seokjin menepuk-nepuk kedua pipinya lagi. Apakah dia sedang demam?

"Jangan ditepuk begitu, nanti makin merah," tegur Namjoon yang tiba-tiba muncul di dekat pintu kamar mandi.

Tak menghiraukan ledekan Namjoon, dilanjutkannya kembali aktivitas sebelum tidur yang sempat tertunda. Menyadari jika gerak-geriknya tengah diperhatikan, lirikan jengah Seokjin tertuju pada Namjoon yang sepertinya terlalu nyaman.

"Lo nggak ada kegiatan lain selain nonton gue di sinI?"

Mengedik bahu, Namjoon malah berjalan ke belakang Seokjin dan mengamatinya melalui cermin. "Aku juga mau siap-siap tidur."

"Emang nggak bisa nanti? Gue bahkan belum keluar dari sini."

Namjoon yang tiba-tiba menjulurkan tangan untuk meraih sikat dan pasta gigi, sukses membuat Seokjin terpaku. Sempat dia mengira Namjoon akan menyentuhnya lagi. Freeze response sialan. Seokjin bahkan tidak punya kendali atas tubuhnya sendiri.

"Maaf buat yang tadi." Sambil menekan tabung pasta gigi ke arah kepala sikat, Namjoon berujar lirih. "Seharusnya aku izin dulu ke kamu."

Mata belo Seokjin terbelalak. Setelah sekian belai, tatapan mesra dan beberapa kali pagutan, Namjoon malah meminta maaf? Apakah Namjoon sedang mempermainkannya?

"You should be," sepat Seokjin dingin.

Kekhawatirannya menguap begitu saja. Seharusnya dia tidak perlu kebingungan dengan tingkah laku Namjoon. Pria itu tidak mencintainya dan mereka sudah sepakat untuk tidak mencampur adukkan perasaan dalam pernikahan. Untuk apa Seokjin membuang waktu untuk repot memikirkan Namjoon ketika suami palsunya bahkan tidak pernah sebersit pun ambil pusing?

"Walaupun kamu suamiku, nggak sepatutnya aku bersikap semena-mena tanpa tanya pendapatmu." Usai membuang kumuran ke bak wastafel, ujaran Namjoon yang sudah berdiri bersebelahan dengan Seokjin akhirnya menambal keheningan. "Oke, kadang-kadang kita butuh sandiwara untuk menyelamatkan muka, tapi bukan berarti kita nggak bisa diskusi sebelumnya."

Satu hal yang amat dibenci Seokjin dari dirinya sendiri adalah kepekaannya pada situasi. Selama berkencan dengan Taehyung meski sudah bersuami Namjoon, sejatinya Seokjin sedang berusaha mematikan nurani. Beralasan jika ranah pribadinya diusik sesuka hati, Seokjin memutuskan untuk menjadi tega. Dia sudah memiliki kekasih dan mengapa orang tuanya tidak menghargai kenyataan itu? Bahkan hingga saat ini, Seokjin sama sekali belum memperoleh alasan dari sang nenek yang sangat bersikeras menjodohkannya dengan Namjoon.

Sebenarnya perkataan Namjoon masuk akal, terlalu masuk akal malah. Karena pernikahan ini berjalan dengan perjanjian yang telah direncanakan, memang sepantasnya hanya dianggap sebagai sekadar kontrak bisnis belaka.

"Apa lagi yang harus didiskusikan? Menurut gue, kerja sama kita udah cukup bagus barusan. Lo akting sebagai suami yang baik dan gue tinggal mengimbangi. Toh, cuma sementara di depan orang. Sisanya, tinggal bersikap seperti biasa. Lo tenang, gue senang."

Mengeringkan tangan dengan handuk kecil yang tergantung di sisi wastafel, udara di sekeliling Seokjin berubah pekat. Entah mengapa, napasnya agak tercekat selepas mengeluarkan isi kepala. Bergegas keluar dari kamar mandi yang mendadak terasa menyesakkan, Seokjin melintasi ruang makan untuk menuju kamar tidur. Sensasi tidak menyenangkan menekan sekujur tubuh. Sensasi yang teramat familier setiap kali Seokjin sadar bahwa dia telah berdusta.

Namjoon rupanya menyusul usai menyelesaikan persiapan tidurnya. Poninya yang masih sedikit basah terkulai layu menutupi dahi. Wajahnya lembab dengan bulir air yang belum selesai diseka. Seokjin yang terduduk di depan cermin, berusaha menyibukkan diri dengan rangkaian perawatan muka, mengabaikan kedatangan Namjoon yang langsung merebah di atas ranjang.

"Kenapa nggak tidur di luar lagi?" tukas Seokjin kesal karena Namjoon tak kunjung pergi sampai rutinitasnya selesai.

"Because I don't want to?" berguling ke tepian untuk menelungkupkan badan, kedua telapak tangan Namjoon menumpu dagu. "Kamu penasaran kenapa aku nggak tidur di kamar, 'kan? I'll let you figure it out tonight."

Mendecak sebal, dipintanya Namjoon agar bergeser dengan sibakan selimut. Namjoon turut memperbaiki posisi baringnya usai bangkit sejenak untuk mematikan lampu. Ditemani pendar lampu nakas yang mampu menerangi separuh ruangan, Seokjin menarik saklar hingga gulita menyelimuti mereka.

Menyisakan kepala yang menyembul dari balik selimut, kehadiran Namjoon yang mengisi sisi kosong ranjang rupanya cukup menenangkan. Setidaknya Seokjin tidak menghabiskan malam sendirian.

"Selamat tidur, Seokjin."

"Hm."

Tepat pukul 2 dini hari, Seokjin terbangun dengan paras sang suami yang berjarak tak ada lima sentimeter darinya. Memperparah rasa malu, Seokjin baru menyadari jika lengannya melingkari perut Namjoon bak sedang mendekap guling. Keputusan Namjoon untuk memisah tempat tidur mereka tempo hari memang sangat tepat.

••

WHIRLWINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang