▪︎ 18. Diskusi Per-Hantu-an ▪︎

38 16 0
                                    


Yuhuuu malam gaiseee~

Happy reading yooo

Selamat malming uhuyy



***



"AGUSTA KAMPRET!"

Aku menoleh ke ke suara, mengabaikan pintu yang beberapa centi lagi kugapai. Di tengah-tengah mulut gang, berdiri Heni yang menatapku galak dengan Nabila di sampingnya. Heni menghampiriku, lantas menarik kerah bajuku. Membuat aku terbelalak kaget. Kejadiannya cepat sekali sehingga aku tak mercerna situasi dengan benar.

"Kamu bohong anjir!" serunya seraya menarik kerahku lebih erat. Aku refleks menahan tangannya agar tidak menarik lebih lagi.

"Wes wes apa ini? Main damai dong main damai." Aku melirik bang Sio, ia menggerakkan tangannya dengan gestur seolah melerai.

"Jangan ikut campur dulu Bang! Ini anak satu udah bohong sama aku!"

Aku menatap datar Heni di depanku. Bisa tidak dirinya berbicara sekali kalimat langsung tamat? Daripada bersambung-sambung sudah macam serial komik yang kubaca.

"Dia kenapa?" tanya bang Sio tanpa berniat menyuruh Heni melepaskan cengkeraman tangannya pada kerahku.

"Ada hantu di rumahku sama Nabila. Gusta malah gak ngasih tau. Dari kemarin dia bilang kalo kita berdua diteror mulu, tapi ternyata pas didatengin orang pinter eh katanya ada makhluk yang bersemayam di sana," jelas Heni panjang.

Aku mendecak, seraya melepaskan tangan Heni dari kerahku. Aku menatap tak minat ketiganya, beranjak duduk pada posisiku tadi dan benar-benar mengabaikan rasa penasaranku pada bilik toilet itu.

"Kenapa kamu duduk? Ayo jelasin!" Nabila menyahuti, sepertinya ia juga sama kesalnya dengan Heni.

Sebenarnya bukan tanpa alasan aku membiarkan mereka tak tau. Sebab hantu itu tidak mengganggu, lagipula itu rumah mereka. Namun, pasal teror itu benar, aku tidak pernah mengarang. Hanya saja instingku mengatakan bahwa seseorang di baliknya mempunyai ilmu khusus.

"Gus?"

Aku menghela napas pelan, sembari memperbaiki posisi dudukku. "Itu rumah mereka, lagian mereka gak ganggu. Malah mereka yang ngasih tau kalo orang itu tanpa identitas yang pasti. Alias sulit terdeteksi."

"Kenapa kamu bisa yakin?" Heni mendekat, ia mengambil tempat di teras yang lain. Masih dengan tatapan tajamnya.

Aku menggeleng pelan, "Hantu gak bisa berpindah tempat seperti kita yang mau ke mana aja. Mereka punya kawasannya sendiri hanya di sekitaran itu. Kayak hantu di rumahmu atau di rumah Nabila, cuma bisa menetap di kawasan itu."

"Jadi maksudmu, kita beneran kena teror malam itu?" Kini Nabila yang angkat suara. Ia sudah berada di sisi Heni, duduk bersila persis seperti yang kulakukan.

"Teror? Budi gak ngasih tau saya kalau kalian kena teror," ucap bang Sio yang masih berdiri di hadapan kami.

"Saya kira malah side udah tau, Bang. Makanya saya gak ngomong apa-apa lagi."

"Tapi, Gus, kenapa aku bisa bilang cantik ke pelaku teror itu? Apa dugaan kita kalo dia itu 'pacarnya' Gio adalah benar?" Heni kembali bertanya, membuat aku mengangguk ragu. Jawabannya antara iya dan tidak.

"Kok ragu, Gus? Emang itu bukan Paramitha ya?" Entah kenapa cewek berbandana itu senang sekali menimpali pertanyaan Heni.

"Bentar dulu, Gus," tahan bang Sio. "Saya gak paham, bisa kalian jelaskan ulang?"

"Bisa, sini duduk dulu." Aku menepuk teras di sebelahku. Mempersilakan bang Sio untuk duduk mendengarkan dengan seksama.

"Jadi begini," kataku memulai, yang kemudian kuceritakan kejadian di rumah Heni dan Nabila secara keseluruhan, termasuk berbicara dengan hantu itu.

Setelah selesai menceritakannya, aku menatap mereka satu per satu. Tak pernah kuduga sebelumnya jika reaksi yang mereka tunjukkan. Apakah memang se-luar biasa itu ceritaku hingga mereka tercengang seperti ini?

“Kenapa? Kayak gak pernah denger cerita hantu,” kataku tak tahan juga dengan reaksi berlebihan mereka.

“Memang gak pernah dan ini pertama kali.” Bang Sio menyahuti, begitupula dengan heni dan Nabila.

Aku ber-woah, entah aku yang aneh atau memang mereka yang terlampau normal. Aku ikut cengo menatap mereka.

“Tapi ... apa kamu berarti sudah biasa dengan hal-hal itu, Gus?” tanya Heni setelah kami diam beberapa saat.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Sejatinya indigo itu tidak sekuat itu. Terlebih lagi tidak ada hantu yang lucu, imut dan menggemaskan. Hei, lagipula ini bukan film. Mana ada hantu lucu, noh tuyul yang lucu saja bikin takut.

“Terus kamu hidup kayak bagaimana, Gus?”

Aku terkekeh sinis mendengar pertanyaan dari cewek berbandana itu. Hidup bagaimana yang ia maksud? Berdampingan dengan hantu? Haa, kurasa perlu kujelaskan jika bukan hanya aku yang berdampingan, ‘kan?

“Saya hidup aman kok, asal gak kontak mata saja sama hantu-hantu yang saya lihat. Lagian kan kita semua berdampingan juga dengan mereka, Cuma saya diberi sedikit kelebihan buat lihat mereka. Gak ada bedanya, kalian juga pasti punya bayangan seram tentang mereka,” jelasku, meski sebenarnya aku menahan kesal dengan pertanyaan itu. Mungkin bagi Nabila memang tidak tahu jika pertanyaan itu tidak menyinggung, tetapi bagiku itu cukup sensitif.

“Saya kepikiran ini deh, Gus. “ Aku, Heni dan Nabila menoleh kompak ke arah bang Sio. Laki-laki dengan hidung mancung itu mengetuk-ngetukkan jari telunjukkan pada dagu. “Kamu pernah lihat hantu cantik? Maksud saya yang gak pakai daster kek di tv.”

“Gila banget, Bang. Hantu Indonesia ya bentukannya begitu kali, gak macam hantu Korea yang malah punya mobil mewah, hotel dan lain-lain.”

Aku mengernyit, “Kamu pernah lihat hantu Korea?” tanyaku pada Nabila.

Gadis itu cengengesan, menggeleng pelan dan berkata, “Lihat di drakor.”

“Aku hampir percaya!” ucap Heni seraya menoyor kepala Nabila.

“Saya gak tahu, sejauh ini ada kok hantu yang gak pakai gaun putih untuk tempat-tempat tertentu. Contohnya hantu di rumahmu kemarin, dia kayaknya mati pas jadi siswa. Soalnya pakai seragam lusuh sama rambut dikepang.”

“Anjir jangan nakutin, Gus!” umpat bang Sio sambil menggeplak bahuku.

“Tenang, di sini gak ada kok–“

Tok! Tok!

Ketiganya menatapku seolah berseru, “ITU APA!”

Aku mendecak karena mereka tak menurunkan tatapannya yang terasa mencongkel harga diriku. Mau tak mau aku bangkit dari duduk, kembali mendekat ke arah pintu toilet. Tanpa babibu lagi, aku mendorongnya kuat. Sebuah tokek jatuh tepat di hadapanku, membuat aku hampir saja berteriak. Sebaliknya aku hanya bisa tersenyum sambil mengelus dada, berusaha sabar.

SEE?” Aku berbalik, menatap sinis orang-orang itu. Mereka hanya cengengesan. Asem banget!

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang