Chapter 6

165 35 10
                                    

Sorenya, (Name) baru pulang dari rumah sakit dengan diantar oleh Solar. Sekarang pun ia sudah di rumah. Nara juga ada di rumah, ia kaget begitu tau kakaknya dibully lagi.

Memang bukan pertama kalinya ia melihat kakaknya habis dibully, soalnya tiap kali dibully pasti sangat terlihat dari luka-luka yang didapatnya. Nara pikir, semakin dewasa dunia pendidikan, tak akan ada lagi yang namanya pembullyan dan drama, karena orang-orangnya sudah dewasa dan bisa berpikir rasional. Ternyata malah lebih kekanak-kanakan.

"Kenapa bisa begini, ya. Gak habis pikir dah Nara tuh."

"Sinting mereka tuh, dek. Masalah sepele yang gak ada hubungannya sama mereka malah digede-gedein. Entar kalau udah kuliah, jangan sampai kamu gini juga ya."

"Mending gak kuliah, kak."

(Name) pun terdiam mendengar ucapan singkat itu. "Dek, gak selamanya dunia kuliah itu serem. Kakak yakin dah, orang modelan kamu di kampus, pasti selamat. Yang begitu-begitu pasti hasil gendongan dari kecil, sampai segede ini moralnya kagak terdidik karena keseringan digendong dan makan gelar buta."

"Hah? Kakak tau begituan?"

(Name) mengangguk. "Udah bukan hal aneh lagi, udah jadi rahasia umum di kampus malahan. Malahan, tau gak, yang bully kakak tuh ketuanya ayam kampus. Dengar-dengar sih, si ayam itu suka," (Name) pun mencoba mencari kata-kata yang pas. "Jajan sama petinggi kampus. Kayak dosen, sampai rektor juga dikasih."

Malah berakhir ngegibahin orang. Nara yang mendengar cerita kakaknya itu terusan menganga dan tidak habis thinking dengan dunia kuliah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Yang ia bayangkan ya, dunia pendidikan biasa, belajar, pertemanan, mungkin sedikit percintaan, tidak sampai hal-hal di luar nurul yang diceritakan kakaknya itu.

"Kok bisa, sih ..."

(Name) menghela napas. "Gak tau deh dunia mereka masing-masing tuh kayak apa. Tapi yang jelas, jeleknya itu kelihatan banget di publik. Orang modelan mereka tuh, walau udah terkenal karena kejelekan bukannya malu malahan nawarin diri."

"... Fiks sih, aku gak bakalan kuliah."

"Tenang aja, dek, nanti kakak kasih kamu kampus yang best dan sesuai ekspektasi kamu. Kakak ini yang dulu salah milih kampus, tapi sekarang gak bakalan salah buat kamu."

"Gak ah, mana mahal itu-itunya, gak mauu." Entah kenapa seketika cara pandang Nara terhadap dunia perguruan tinggi jadi berbeda, mungkin berkat cerita kakaknya tentang sisi gelap kampus. Meski itu baru satu kampus.

"Ya ..." (Name) pula bungkam. Secara tak sadar ia menceritakan sisi gelap perkampusan yang cukup menakutkan, sepertinya Nara jadi trauma sebelum merasakan. "Hehe, mending gak usah aja ya, pikiranmu udah pinter ngalah-ngalahin orang dewasa, kamu juga jago bela diri, klep deh." ucap (Name) dengan tangannya menunjukkan bentuk 👌.

Seketika Nara tersenyum lebar. "Iye kan, gak usah."

(Name) hanya ketawa karir. 'Kok sesat, ya,'

=====

Besoknya, keluar rumah lagi, ngapain lagi kalau bukan berkuliah ataupun bersekolah. Pagi ini tumbenan tak ada jemputan gratis, tapi (Name) tak mempermasalahkannya, ia pun berangkat dengan motornya.

Di sepanjang jalan, (Name) berkendara dengan tenang, tapi pikirannya ramai, ramai dengan ini;

'Entar di kampus jajan apaan, ya? Terus pulangnya bawa apaan? Nasgor? Apa bakso aja kali? Corndog yang baru buka di sebelah kampus itu enak kayaknya,'

Pikiran yang VVI, very-very important, karena menyangkut perut dan kehidupan. Sampai tak terasa ia tiba di kampus. Ia pun parkir di parkiran, lalu segera menuju kelas.

Contract Marriage [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang