05

908 133 20
                                    

Selamat Membaca

"Alessa?" Suara panggilan itu berasal dari Iris yang baru saja pulang dengan membawa kantung plastik berisi makanan. "Alessa?" Dia memanggil lagi saat melihat keadaan kondominium mereka tampak sepi, tapi tas dan sepatu perempuan itu sudah terletak pada tempatnya yang menunjukkan bahwa Alessa sudah lebih dulu pulang.

"Alessa?" Dia memanggil sekali lagi sembari berjalan menuju kamar mandi dan mengetuk pintu tersebut. "Alessa, kau di dalam?" 

Tak mendapat sahutan Iris mencoba membuka pintu kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Saat pintu terbuka tampaklah Alessa tengah terduduk di bawah guyuran shower bak orang kehilangan semangat hidupnya.

"Ya Tuhan, Alessa." Iris buru-buru masuk dan mematikan air yang terus saja menderas keluar membasahi Alessa. "Apa yang kau lakukan? Kau bisa sakit." Iris berbalik mengambil handuk dan melingkarinya pada pundak Alessa seraya memaksanya untuk berdiri.

Mata Iris tentu saja dapat melihat wajah kacau Alessa serta matanya yang terus mengeluarkan tangisan. Apa yang terjadi dengan sahabatnya ini? Dia menuntun Alessa keluar dari kamar mandi dan mendudukkan perempuan itu pada kursi makan. 

"Alessa, apa yang terjadi denganmu? Mengapa kau melakukan hal seperti ini?" tanya Iris sangat khawatir sembari berusaha mengeringkan badan sahabatnya itu. "Kau sedang mengandung,  Alessa, apa kau melupakan hal itu?" Iris mengomeli sahabatnya itu. 

"Iris ..." lirih Alessa. Wajahnya basah dan dia sama sekali tak menatap sahabatnya itu. 

"Ya? Ada apa? Apa yang terjadi denganmu?"

"Apakah aku harus tetap mempertahankan anak ini?"

Iris sontak terkejut dan berjongkok di hadapan sahabatnya itu. "Ada apa? Mengapa kau bertanya hal seperti ini?"

"Iris, haruskah aku menggugurkannya?"

"Alessa?" Iris menggenggam tangan sahabatnya itu. "Ada apa? Ceritakan padaku!"

"Iris, aku bertemu dengannya ..." Alessa mulai terisak. 

"Dengan siapa?"

"Laki-laki yang menghamiliku," jawab Alessa tertatih. "Ayah dari janin yang ada di perutku ini."

"Demi Tuhan?" Iris terkejut bukan main. "Alessa, benarkah? Kau bertemu dengannya? Di mana? Alessa, di mana kau bertemu dengannya?" 

Perlahan Alessa mengangkat wajahnya dan memandang Iris yang berjongkok di hadapannya. "Aku bertemu dengannya, Iris. Tapi, dia memintaku untuk menggugurkan anak ini. Dia tidak ingin anak ini lahir."

"Bajingan!" maki Iris dengan cepat. "Katakan padaku siapa dia! Alessa, katakan padaku!" Iris mencengkeram pundak sahabatnya dengan erat. Percayalah, sebagai seorang sahabat yang mendengar kabar tidak menyenangkan seperti ini, Iris turut marah. Dia benar-benar marah kali ini. "Katakan padaku, Alessa, siapa dia!"

Alessa menggelengkan kepalanya. "Iris, haruskah aku menggugurkannya? Dia tidak ingin bertanggungjawab," tutur Alessa dalam sauk tangisnya. 

"Katakan siapa dia, Alessa! Biar aku yang menghadapinya!"

"Dia mengancamku, jika aku tidak menggugurkan anak ini, dia akan membuatku keluar dari kampus."

Mendengar ucapan Alessa, Iris terduduk lemas di lantai. "Apa dia dosen di sana?"

Alessa menggeleng. "Bukan," jawabnya lirih. 

"Lalu mengapa dia mengancammu seperti itu?"

Alessa menelan ludahnya. Menghapus air matanya sebelum berkata, "Dia seniorku, Iris. Dia ada saat pembukaan pengenalan fakultas pagi tadi." Air mata Alessa semakin deras kala dia mengingat kejadian di ruang kelas itu. Semua tuturan laki-laki itu terekam jelas bak kaset rusak di kepala Alessa.

D'Arcy • Liskook 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang