🌷 PENUTUP BAGIAN B || ARC 1

66 5 3
                                    

Tidak ada siapapun yang menyangka bahwa Jean dan Naufal bisa berbuat sekejam itu pada Ruby serta anaknya.

Entah itu Alvin, Morgan, dan Tiara. Mereka benar-benar tidak menduga kedua pria itu memiliki sisi lain yang ditutupi selama bertahun-tahun.

Langit yang mendung menaungi acara pemakaman Ruby yang terlaksana jelang seminggu usai hari eksekusi Naufal dan Jean.

Sekelompok pelayat berpakaian serba hitam terlihat berkerumun di sekitar kuburan.

Di antaranya ada Tiara bersama suami dan anaknya yang masih balita. Alvin bersama sang istri yang tengah mengandung, serta Morgan yang datang mengajak tunangannya.

Wajah mereka tampak sendu. Tiada yang sanggup memasang senyum. Mata Tiara bahkan sampai bengkak akibat menangisi sahabatnya.

Ruby dimakamkan bersebelahan dengan makam Reo.

Hari itu, Reja tak lagi menangis. Dia hanya menampilkan raut murung sepanjang waktu. Lingkaran hitam semakin jelas di sekitar matanya.

Dia terus terfokus menatap batu nisan Ruby di saat semua orang memandang iba kepadanya.

"Ja, yang kuat, ya. Gue sama Morgan nggak nyangka si Jean dan Naufal bisa ngelakuin tindak kriminal kayak gitu. Apalagi Ruby dan Reo yang jadi korbannya."

Alvin berjongkok di dekat Reja sembari menepuk bahu sang sahabat demi menyalurkan kekuatan dan dukungan.

"Iya, Ja. Lagipula, sekarang mereka udah dikasih hukuman yang setimpal. Jiwa Ruby sama Reo mungkin udah tenang di alam sana karena dapet keadilan," timpal Morgan.

Tiara tidak berkata apa-apa saking sedihnya kehilangan sosok sahabat. Awal-awal mendengar kabar kematian Ruby, dia sempat jatuh pingsan lantaran syok. Lalu kini, dia hanya bisa membisu di pemakaman wanita itu.

"Pokoknya setelah ini lo harus tetep hidup, Ja. Kita semua bakal selalu support lo. Masa depan masih panjang. Gue yakin, Ruby dan Reo juga pengen lo ngelanjutin hidup dengan tenang."

Kalimat Alvin terdengar tidak rasional di telinga Reja. Bagaimana bisa dia tetap melanjutkan kehidupan padahal tujuan hidupnya sudah tiada?

Hening.

Reja tak berniat merespon sama sekali. Dia mengabaikan semua orang yang mengajaknya bicara.

Pikirannya kosong. Hampa terasa dalam hatinya.

Berhari-hari usai acara pemakaman itu, Reja selalu berlarut-larut dalam kesedihan. Terkadang ia akan menangis, lalu tiba-tiba tertawa.

Oleh tetangganya, Reja sering kedapatan bercanda ria seorang diri di teras rumah. Tetapi gerak-geriknya seperti sedang mengobrol dengan seseorang.

Lain waktu, Reja juga terlihat bermain bola sepak di halaman rumahnya. Dia berteriak kata 'oper' atau 'gol' beberapa kali dengan riang padahal dirinya tidak bermain bola bersama siapapun.

Reja tersisa seorang diri di rumah minimalisnya.

Jadi, lambat laun para tetangga mulai menyimpulkan kalau Reja telah gila karena kematian anak dan istrinya.

Sesegera mungkin mereka melaporkan hal tersebut ke rumah sakit jiwa sebab merasa kasihan dengan keadaan pria yang dulunya terkenal baik hati itu.

"Permisi."

Dua orang lelaki berpakaian putih-putih datang mengetuk pintu rumah Reja. Mereka menunggu lima menit sampai sang pemilik akhirnya membukakan pintu.

"Ada apa, ya?" Reja muncul dengan kondisi yang sudah tak terurus.

Tubuhnya semakin kurus. Bau tak sedap menguar dari badannya yang langsung saja membuat para petugas rumah sakit jiwa kompak membuang muka.

"Apa benar ini rumah pak Reja Syaputra?" tanya salah satu dari mereka setelah mencoba terlihat biasa saja.

ALAVENDEROù les histoires vivent. Découvrez maintenant