11. mainan.

4.7K 435 0
                                    

Tak menunggu lama, Lucifer datang untuk menjemput Lachio.

"Iblis kecil."

Lucifer beralih menatap Angel tajam. "Kau mengganggu adikku, Angel? Betapa beraninya."

Angel menggeleng cepat, dia tak ingin menjadi target buruan si kembar.

"Aku tak mengganggunya sama sekali. Aku hanya ingin menyapa, benar kan, Chio?" Angel menatap Lachio penuh harap. Dia berharap Lachio mengiyakan ucapannya, semoga.

"Sayang sekali, aku terganggu. Kakak, dia berkata akan menikahi salah satu dari kalian." Ucap Lachio santai.

"Kau dengar itu? Membuat iblis kecil ku merasa terganggu adalah sebuah kesalahan besar yang tak termaafkan. Dan lagi, tak ada yang mau menikahi orang tak tau malu seperti mu." Lucifer menatap Angel sekilas, lalu mengangkat Lachio dalam gendongannya.

Lucifer berjalan ke luar taman diikuti Draken yang berjalan disampingnya, meninggalkan Angel yang menatap penuh benci ke arah mereka, lebih tepatnya Lachio.

Tak ada pembicaraan dalam perjalanan, sesampainya di lapangan, Lucifer menurunkan Lachio dan mendudukkannya di bangku panjang samping lapangan.

"Kakak akan ke sana, tunggu disini bersamanya, mengerti?" Ucap Lucifer menunjuk Draken dengan dagunya.

Lachio mengangguk kecil. "Apa kalian masih lama?"

"Tak, kami akan selesai sebentar lagi."

Setelah mengucapkan itu, Lucifer berlari ke tengah lapangan untuk melanjutkan latihannya.

"Aku orang yang cepat bosan." Ucap Lachio tiba-tiba.

Draken menoleh kesamping untuk menatap Lachio. "Maka kamu harus memiliki mainan agar tak bosan." Jawab Draken.

Draken tetap menatap Lachio, yang kini juga sedang menatapnya.

"Aku sudah besar, apa masih membutuhkan mainan?"

"Carilah mainan, yang sesuai dengan mu."

Lachio tersenyum kecil. "Aku sudah menemukannya."

"Benarkah? Lalu? Kenapa tak dimainkan? Apa aku bisa melihatnya?"

"Bersabarlah, aku akan menunjukkannya pada mu besok. Aku harus mengambil mainan  itu dari pemilik sebelumnya."

"Ah.. jadi kamu membeli dari orang, bukan di toko?"

"Ku pikir kamu pintar."

Draken mendengus kesal. "Jadi, maksudmu aku bodoh?"

"Aku bilang begitu?" Tanya Lachio dengan tatapan polos.

"Cih, sial. Kamu membuat ku kesal."

"Harusnya aku yang kesal karena kamu tak mengerti maksud ku."

"Maka jelaskan!"

"Tak perlu, kamu akan mengerti dengan sendirinya besok." Ucap Lachio. Dia mengambil ponsel miliknya yang berada di saku celana.

Dia mencari nomor Mark, untuk mengirim pesan.

Anda:
Aku minta tolong, Mark. Belikan coklat dan makanan manis lainnya. Terimakasih.

Lachio menatap lurus ke depan setelah menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam saku, dia bisa melihat Demon berlari kecil ke arahnya.

"Iblis kecil. Menunggu lama?"

Lachio menggeleng, dia menoleh kesamping untuk menatap Draken.

"Bermainlah, Aken. Ku dengar kamu suka bermain basket."

Draken mengangguk kecil, dia paham Lachio ingin waktu berdua dengan kakak nya.

"Aku akan bermain."

Lachio lalu beralih menatap sang kakak. "Duduklah di sini, kakak." Ucap Lachio menepuk tempat di sampingnya, dia memberikan sebotol air pada sang kakak.

"Terimakasih. Apa iblis kecil ini ingin menyampaikan sesuatu?" Tanya Demon setelah meneguk air itu hingga habis.

"Iya, Chio ingin kakak berhenti memainkan nya."

"Hm? Apa iblis kecil ku ini tertarik dengan mainan itu?"

"Iya. Chio rasa 12 tahun adalah waktu yang lama dan cukup." Lachio menatap dalam netra semerah darah milik sang kakak.

Demon tersenyum kecil, dia mengelus lembut wajah bulat Lachio, keyakinan penuh akan dendam itu membuatnya merasa bangga.

"Baiklah, iblis kecil ini akan mendapatkan apa yang dia mau. Kakak akan memberi tau, L."

"Terimakasih."

"No need, baby."

Hening. Lachio menatap lurus ke depan dengan penuh perhitungan dan Demon yang menatap lembut Lachio dari samping.

Aku menyayangimu, kecil. Aku sangat menyayangimu. Demon tak tau, bagaimana dia akan melanjutkan hidup jika sang mama tak meninggalkan Lachio bersama mereka.

Suara langkah kaki seseorang terdengar mendekat, Demon menoleh mendapati Mark yang tengah berjalan ke arah mereka.

"Tuan kecil. Tuan muda." Ucap Mark dengan badan sedikit membungkuk.

"Apa yang kau bawa? Camilan iblis kecil ku?"

Lachio ikut menoleh. "Ah.. sudah sampai? Terimakasih, Mark." Lachio mengambil pesanan nya.

"Sudah tugas saya, tuan kecil tak perlu berterimakasih."

"Kenapa tak memberi tau kakak? Kakak akan membelikan nya. Tak perlu menyuruh, Mark." Ucap Demon. Ada sedikit nada kesal dalam ucapannya, kenapa hal sekecil ini harus Mark yang melakukan untuk adiknya?

"Kakak tak dengar? Ini sudah tugas nya. Benarkan, Mark?"

Mark mengangguk kecil. "Benar, tuan kecil."

"Pergilah, Mark." Mark membungkuk sebentar lalu pergi dari sana.

Cup!

"Berhentilah kesal, lain kali Chio akan meminta pada kakak." Ucap Lachio setelah mengecup singkat pipi Demon.

Demon tersenyum. "Berjanjilah."

"Aku berjanji, kakak kembalilah bermain. Aku ada urusan, sebentar."

"Kakak akan mengantar. Tak perlu berjalan sendiri, ada kakak yang akan menggendong iblis kecil ini." Demon tak mau sampai Lachio kelelahan.

"Terimakasih untuk tawarannya, tapi Chio ingin sendiri. Tak apa-apa, kan?"

"Berhati-hatilah, hubungi kakak jika terjadi sesuatu."

Itu perintah mutlak, Lachio mengangguk kecil. Dia bangkit lalu berjalan meninggalkan Demon yang menatapnya dengan senyum tipis.

Just imagination ✨

WE DON'T KNOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang