26. pulang.

1.1K 143 7
                                    

Lachio pulang lebih awal, dia tak tahan berjauhan dengan sang papa lebih dari satu hari, jadi dia memilih pulang.

Tentu saja dengan satu anggota tambahan, Eins.

Penyambutan kepulangannya tetap seheboh yang pertama kali.

Kini mereka tengah berkumpul di ruang keluarga dengan Eins juga.

"Jadi?" Tanya Lucifer.

Semua anggota keluarga Gallardo duduk di satu sofa panjang dan Lachio yang berada di pangkuan sang papa, mereka menatap tajam Eins yang terlihat santai.

"Dia-"

"Kekasih." Jawab Eins memotong ucapan Lachio dengan cepat.

"Aku kekasih, serenità." Jelas Eins lagi.

"Kucing kecil?"

"Tak seperti itu. Eins, pergilah ke kamar tamu yang sudah di siapkan."

"Apa kita akan tidur bersama?"

"Dalam mimpi mu." Jawab Lucifer datar.

"Kakak ipar, kita harus akur."

"Kau pikir, kau pantas?" Sinis Levi.

"Sudah cukup. Ben, bawa Eins pergi ke kamar tamu." Ucap Lachio pada Ben, kepala maid.

"Aku pergi dulu, serenità. Datanglah ke kamar ku nanti malam." Ucap Eins. Dia berlari kecil saat melihat Diavolo mengeluarkan belati kecil miliknya, dia tak takut. Hanya saja, Lachio tak suka kecacatan, bagaimana jika kena?

"Bayi kecil, bisa jelaskan situasi ini?" Tanya Diavolo dengan lembut.

"Dia orang ku, dia milikku."

Lachio tak tau jika dampak dari perkataannya akan membuat Levi begitu marah, Levi bangkit lalu pergi tanpa menoleh.

"Sungguh? Apa akan selamanya begitu?" Tanya Demon. Dia marah, itu terlihat jelas dari wajahnya yang terlihat mengeras.

"Sampai dia tak berguna."

"Kapan?"

"Entahlah. Aku akan menceritakannya nanti, sekarang aku harus membujuk kak Levi."

Lachio turun dari pangkuan sang papa, dia mengecup pipi mereka bertiga bergantian, lalu benar-benar pergi dari sana.

Lachio membuka perlahan pintu kamar milik Levi, dia masuk dengan pelan tanpa menimbulkan suara.

Kamar yang cukup berantakan, di ujung kamar ada Levi yang tengah menghisap rokok miliknya, rahang yang mengeras menandakan, Levi masih dalam amarahnya.

Lachio berjalan pelan, dia mendudukkan dirinya di atas pangkuan Levi. Sang empu tak melarang, dia mempersilahkan untuk kucing kecil miliknya berbuat sesuka hati.

Tangan kekar Levi perlahan melingkar di pinggang kecil milik Lachio, memeluk erat tak menyisakan jarak, rokok yang tinggal sedikit itu Levi buang, menenggelamkan wajahnya di leher sempit milik sang adik.

"Kakak sedang marah, kucing kecil."

Hembusan napas Levi membuat si kecil itu meremang.

"Chio, akan menjelaskannya." Jawab Lachio. Dia memeluk erat bahu sang kakak, mengelus kepala bagian belakangnya dengan lembut.

"Nanti. Kakak, masih belum tenang."

Levi meregangkan sedikit pelukannya, dia menangkup wajah kecil Lachio, mencium seluruh wajah itu dengan lembut.

"Ini pertama kalinya dan akan menjadi yang terakhir, mengerti?"

Ya. Levi, tak ingin ada orang lain lagi yang si kecil anggap miliknya.

"Chio, berjanji." Maka itu artinya tak ada orang lain lagi.

"Beri tahu kakak jika sudah tak memerlukannya."

"Dia akan berguna sampai akhir, kakak."

"Tak. kami lebih bisa untuk kucing kecil ini andalkan, bermainlah dan buang jika bosan, mengerti?"

"Lalu bagaimana jika Chio tak bosan?"

"Maka akan kakak buat sesuatu yang lebih menarik."

"Akan ada banyak orang dalam beberapa waktu kedepan, kita akan menghabiskan waktu sebelum orang-orang itu mengambil kucing milik kakak."

Levi bangkit, dia menggendong Lachio ke kamar milik si kecil, mereka akan beristirahat dan menghabiskan waktu bersama di sana.

Suasana tak mengenakkan ini rupanya sampai pada orang yang berada di belahan dunia lainnya.

"What??? Kau bercanda??" Laki-laki dengan wajah bule itu menatap sang bawahan dengan tajam.

"Maafkan saya tuan muda, tapi saya tak bercanda." Sin, asisten pribadi si laki-laki tersebut hanya menunduk takut.

Michael, laki-laki dengan raut wajah tak ramah, mata biru indah yang selalu menatap tajam, juga rahang tegas yang membuat tampak semakin tampan, dia memiliki fisik yang sempurna.

Michael menghela napas panjang dan bersandar pada kursi kerja miliknya.

"Bajingan kecil ku memiliki seseorang?"

"Wah.. apa tikus kotor itu terlahir dengan keberuntungan yang lebih?"

"Sin, menurutmu antara aku dan tikus kotor, siapa yang lebih baik?"

"Tentu saja, anda tuan muda."

"Benar, sudah pasti aku. Tapi, kenapa bajingan kecil itu mengakui tikus kotor itu sebagai miliknya?"

"Anda tau betul bagaimana sifat tuan kecil, beliau akan membuang mainan tersebut jika sudah bosan."

"Sejujurnya aku marah pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku tak mengetahui hal sejauh ini? Apa sistem kita melemah? Apa kalian tak perlu tidur?"

"Tuan muda, dengarkan saya, tuan kecil lah yang terlalu pintar. Buktinya berkeliaran dengan bebas sekali pun tak membuat orang tau siapa beliau sebenarnya."

"Bajingan kecil itu sudah besar rupanya. Siapkan semuanya, aku mungkin akan bertarung dengan tikus kotor itu."

Michael bangkit lalu pergi dari sana menuju bandara.


Just imagination ✨

WE DON'T KNOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang