16. Hampa

171 20 6
                                    

"Kalau bokap nyokap lo tau Nara ngomong gitu ke Lo, kira-kira Nara bakalan di apain ya?"

"Jangan Cepu."

"Gue cuma memperkirakan njir bukan mau cepu, su'udzon aja Lo!"

Kamar Zizan malam itu terasa berbeda. Jika malam biasanya suara lembut milik Nara yang memggema di seluruh ruangan itu, kini hanya tinggal suara dari Skala yang terdengar berisik di telinga cowok itu.

Pasalnya setelah kejadian tadi, Skala memutuskan untuk menginap di sana sekalian menjaga dan membantu Zizan. Tapi sayangnya hingga detik ini Zizan tampak murung sehingga membuat Skala jadi ikut tak bersemangat.

Jujur kata-kata dari Nara siang tadi masih menggema di kepala Zizan. Terasa begitu sakit, hati Zizan benar-benar tergores. Apa lagi pada kalimat "bayi dewasa yang selalu mengandalkan orang lain untuk jadi mata dan kakinya."

Zizan benar-benar terenyah dengan kalimat itu, Zizan mengakui bahwa itu fakta dan nyata. Tapi kenapa kalimat sekejam dan semenusuk itu harus keluar dari mulut Nara? Andai yang mengatakan itu adalah orang lain, mungkin Zizan hanya akan sakit hati sebentar lalu hilang. Tapi ini Nara, seorang Nara yang selama ini menjadi motivasinya untuk bangkit dari keterpurukan. Tentu saja hati Zizan sakit, sakit yang terasa membekas.

"Menurut Lo, Nara kenapa?" Tanya Skala ditengah-tengah lamunan Zizan.

"Muak? Benci?"

"Nggak mungkin Nara muak apalagi benci sama Lo, kalau dia benci nggak mungkin dia nangis pas berantem sama lo tadi."

Zizan yang semula menatap lurus ke depan, kini memutar kepalanya ke arah Skala dengan tatapan kosong miliknya. "Nangis?"

"Iya nangis, emang lo nggak liat?"

"Kalau gue bisa liat mungkin gue udah usir lo dari tadi karena udah nggak butuh orang buat jagain gue." Sarkas Zizan kesal, dasar Skala. Apa niatnya memang menghina?

"Eh sorry sorry, gue lupa zan." Ujar Skala cengengesan.

"Tapi gue serius Zan, Nara tadi nangis sampe matanya bengkak banget pas gue papasan sama dia di pintu, terus dia lari ke lantai bawah. Sampai sekarang gak balik-balik deh kayaknya, orang gue lewat tadi aja kamarnya kosong."

"Kosong?" Lagi, Zizan terkejut.

"Iya, kenapa?"

"Sekarang jam berapa Skal?"

"Jam 23.45, kenapa?"

"Sekarang kamarnya masih kosong?"

"Ya mana gue tau, orang gue di sini."

Zizan terdiam, sudah selarut ini Nara tidur dimana? Kenapa dia tak kunjung balik ke kamarnya? Zizan hanya mengusirnya dari kamar bukan dari rumah ini.

"Ekhmm, bengong mulu." Notice Skala yang membuat Zizan segera tersadar, ternyata dia lagi-lagi melamun.

"Nggak, siapa yang bengong?"

"Ya elo lah Zan, siapa lagi.."

"Enggak, biasa aja."

"Lo khawatir sama Nara?"

"B-biasa aja.." ujar Zizan terdengar gugup.

"Heleh biasa aja? Yakin biasa aja? Nggak usah bohong, gue tau gimana perasaan lo ke Nara, nggak mungkin lo nggak khawatir." Kata Skala yang memang benar adanya, Zizan khawatir takut Nara keluar dari rumah ini.

Zizan hanya diam, tidak membalas ucapan Skala. Lagi pula Skala memang tau bagaimana perasaannya pada Nara.

Saat ini, hal yang membuat Zizan benar-benar bingung adalah perihal apa yang terjadi dengan Nara, kenapa dia berubah secepat itu? Apa alasannya? Bahkan satu pun belum ada pertanyaan yang terjawab di otak Zizan. Zizan dihantui rasa penasaran. Tapi sebisa mungkin Zizan mencoba menghapus semua pertanyaan itu, mencoba untuk tidak memikirkan Nara walaupun rasanya sulit.
 

ETHEREALWhere stories live. Discover now