Bagian 17

933 121 10
                                    


Yok bisa nggak 100 votes, ya. Udah selesai nih sampai part 30. Tinggal up doang. Yok 100 votes dulu.

Yok sama 50 komen dulu. Wkwk.

....................

"Sanis?" Digumamkan nama sang istri manakala melihat wanita itu berbaring di sofa ruang tamu.

Prabha segera mendekat guna memastikan jika matanya yang sudah mengantuk, tidak sampai salah menangkap sosok istrinya.

Dan ternyata memang benar Sanistya Ayodya.

Kenapa bisa wanita itu tidur di sofa? Apa yang terjadi? Atau sebuah ketidaksengajaan?

Insting menyuruh Prabha mengecek ponsel. Bisa saja ada pesan dikirimkan oleh Sanistya.

Andai begitu, maka keberadaan sang istri tentu memiliki kaitan dengan dirinya.

Saat sudah dibukanya aplikasi chatting, ternyata benar ada beberapa pesan dari Sanistya.

Sekitar empat chat. Semua isinya menanyakan jam berapa kira-kira ia akan sampai di rumah.

Setelah urusan selesai dengan Nusra Dyatmika dan Argan Aloka Putera, ia tak langsung pulang.

Memilih berdiskusi beberapa jam dengan Sapta. Topik mereka tak jauh-jauh dari partai.

Dirinya pun baru meninggalkan markas pukul sebelas malam karena tidak ingin pulang larut. Tapi ia justru terjebak macet hingga satu jam.

Ketika tiba di rumah, menginjakkan kakinya di ruang tamu, didapati sang istri tertidur karena mungkin lelah menunggu kedatangannya.

Prabha jelas merasa bersalah.

Andai dicek pesan-pesan dikirim oleh Sanistya dan membalasnya, ia pasti pulang lebih awal.

"Hoaammm."

Dan baru saja Prabha ingin membangunkan sang istri, Sanistya sudah terjaga dan menguap lebar.

Salah satu kaki wanita itu lantas melayang ke udara dan menghantam kakinya dengan keras.

Membuatnya nyaris terjungkal.

Untung, keseimbangan masih bisa dijaga. Lalu, ia mendekat ke sofa sebab istrinya telah bangun.

Sanistya pun membeliakkan mata melihatnya.

"Mas?"

"Hmmm." Hanya dibalas dengan gumaman kecil panggilan yang diluncurkan oleh sang istri.

Dan Sanistya pun sadar akan sikap lebih dingin ditunjukkan Prabha Winangun. Pria itu pastinya masih akan kesal karena tingkahnya tadi pagi.

Dibandingkan terus menciptakan hubungan tak menyenangkan dengan sang suami, Sanistya pun memutuskan akan mengakui kesalahannya.

Ya, ulahnya kekanak-kanakan. Tak seharusnya ia menciptakan problematika yang menguji pria itu dalam batasan tidak seharusnya dilakukan.

"Mas Prabh mau ke mana?"

Sanistya bertanya saat melihat pergerakan sang suami yang hendak berjalan menjauhinya. Ia pun spontan beranjak dari sofa, ingin mengejar pria itu agar mereka berdua bisa bicara.

Jika dibiarkan berlarut lagi, maka malam ini ia tak akan bisa tidur dengan bagus. Rasa bersalah karena ulahnya pasti terus menghantui.

"Saya akan ke kamar."

"Jangan dong, Mas," cegah Sanistya cepat.

Tak hanya lewat ucapan, ia juga turut berjalan di depan sang suami, berniat mencegat pria itu.

Dan langkah Prabha Winangun akhirnya terhenti dengan tatapan sang suami tertuju padanya.

Sanistya jelas gugup. Sedikit takut juga karena mata pria itu menatapnya dengan cukup tajam.

"Apa yang kamu inginkan dari saya, Sanis?"

Nada suara Prabha Winangun sangat dingin, tiap kata terluncur dalam penekanan suara yang bisa membuatnya kian bergidik oleh rasa takut.

"Jangan galak-galak dong, Mas."

"Duduk bentar di sofa, aku mau ngomong."

"Tolong, Mas Prab." Sanistya meminta dengan lebih sopan demi menghindari konflik lagi.

Tentu enggan diciptakan pertengkaran di antara dirinya dan sang suami seperti tadi pagi. Tidak nyaman dengan hubungan buruk begini.

"Nggak akan lama, Mas. Sebentar doang."

Tanpa bertanya, Prabha Winangun pun duduk di sofa, sebagaimana diinginkan Sanistya. Ia ingin mendengar apa yang ingin wanita itu katakan.

Tak lama, sang istri mengulurkan tangan kanan ke arahnya. Entah apa maksudnya, ia tidak bisa memahami. Diputuskan untuk diam saja.

"Aku mau minta maaf, Mas Prabh."

"Aku salah tadi pagi."

"Aku salah karena memancing pertengkaran dan menyebabkan Mas Prabh marah denganku."

"Aku nggak akan cari ribut lagi. Aku juga nggak akan minta cerai dari Mas Prabh lagi."

"Aku janji."

Tak hanya berupa ucapan-ucapan dengan nada serius yang dilontarkan, tapi juga ditunjukkan bentuk huruf V menggunakan kedua jari.

"Aku minta maaf pokoknya, Mas Prabh."

Prabha seketika merasa lega, setelah mendengar permohonan maaf dari istrinya. Ia kira Sanistya akan membahas perpisahan mereka lebih lanjut.

Syukurnya, wanita itu mengakui kesalahan.

"Aku mau dimaafkan nggak, Mas?"

"Saya memaafkan kamu, Sanis."

Prabha lantas memeluk istrinya. Tanda damai di antara mereka berdua sudah tercipta. Ia pun salut dengan kedewasaan ditunjukkan Sanistya.

"Masih marah nggak, Mas Prabh."

"Tidak." Prabha menjawab cepat.

"Saya bisa menerima kenakalan kamu kali ini, Sanis, tapi saya minta jangan diulangi lagi."

"Iih, aku nggak nakal, Mas."

Prabha terkekeh pelan. Celotehan sang istri bisa menghiburnya dari segala ketegangan pikiran.

Nyaman juga bisa merengkuh wanita itu yang tak menolak didekapnya, justru membalas balik.

"Satu yang perlu kamu tahu, Sanis ...."

"Saya menikah bukan untuk bercerai, saya akan menjaga pernikahan kita sampai kapanpun."

"Saya akan menjadi suami seperti kamu mau."

"Benaran, Mas? Bisa jadi suami romantis?"

"Bisa." Prabha menjawab mantap.

"Bisa jadi suami yang kata-katanya manis?"

"Bisa."

"Wih, benaran? Mana buktinya, Mas Prabh?"

"Mulai besok akan saya buktikan."

Mereka sudah berpandang-pandangan, sehingga bisa dilihat oleh Sanistya seringai sang suami.

Suami Di Atas KertasWhere stories live. Discover now