15. Target Cinta (3)

643 185 6
                                    

Shooting pun berakhir, pikirku. Tori tidak mungkin melanjutkan acara, terlebih dengan keadaan mental semacam itu. Namun, Zena mengajukan diri. Dia dan Mike bersedia mengambil alih. Sungguh totalitas seorang public figure. Sayangnya itu berarti aku dan Luke juga ikut terseret mengerjakan sisanya.

Asal tahu saja, bekerja di depan kamera di bawah tekanan bukanlah kesukaanku! Lagi pula, masyarakat perlu menonton acara lain yang lebih bermanfaat daripada mengekori orang pacaran! Apa yang mereka bisa dapatkan dari menyaksikan dua sejoli pacaran? Kan yang pacaran orang lain, kenapa mereka-yang menonton melalui layar ponsel-merasa terjangkit sindrom kupu-kupu terbang di perut, sih?

Untung Luke mengajakku bermain bola basket. Maksudku, lempar bola basket ke dalam keranjang. Dia jago! Tidak ada satu bola pun yang meleset. Semua masuk ke dalam ring.

"Aku bisa mengajarimu lho," Luke menawarkan bantuan. Dia berdiri di sampingku, membiarkanku mencoba untuk yang kesembilan kalinya memasukkan bola. "Asal kamu nggak keberatan."

"Nggak usah." Bola kesembilan meleset! "Lagi pula, aku menyatakan diri nggak pengin mencoba melempar bola!"

Kepalaku akan meledak! Bahkan di kehidupan keduaku pun bakat olahraga tidak masuk dalam daftar bakat punyaku.

"Oke, apa kita perlu mencoba permainan lain?"

"Bagaimana kalau kamu sedikit menunduk?" Kuabaikan bola yang ada di dekat kakiku. Rasanya ingin kutendang saja. "Menunduk deh."

Luke menunduk. Sedikit saja.

"Kurang," kataku memberi intruksi, "ayo lebih rendah lagi. Lagi. Nah tepat. Tunggu di situ dan jangan bergerak!"

Lekas aku memosisikan diri di belakang Luke. Tanpa ragu aku melompat, persis tupai yang menempel di pohon, dan melingkarkan lengan di leher Luke.

"Ayang, gendong aku," ucapku dengan nada manja (yang semoga tidak kusesali di kemudian hari). "Anggap kita ada di negeri dongeng. Kamu jadi naga, aku jadi putri yang berhasil keluar dari menara sihir. Cepat kita pergi!"

Untung Luke mengamini kegilaanku. Dia menggendongku. Tawa tiada henti lolos dari mulutku. Aku bahkan tanpa malu memeluk Luke seolah kami memang tercipta untuk satu sama lain. Hehe kesempatan emas. Kapan lagi, 'kan, bisa caper ke karakter penting?

Angin membelai wajahku, membuatku segar dan lupa bahwa ada kamerawan yang mengekori kami. Aku merasa hidup. Sangat senang. Tidak pernah terbersit dalam benak bahwa aku bisa mengalami adegan picisan. Cinta. Apa pun itu.

Selama ini kupikir hidupku hanya akan ditumbalkan demi kepentingan adik laki-lakiku. Orangtua yang hanya memihak pada anak lelaki, mengesampingkan anak perempuan. Diriku hanya dinilai dari seberapa banyak hal yang sanggup kuberikan kepada orangtuaku. Tidak ada pilihan. Hanya kewajiban yang didektekan oleh ibu maupun ayahku.

Sekarang aku bebas. Aku boleh memiliki emosi. Aku boleh berusaha menjadi bahagia.

"Luke, kamu gila ahahahaha!"

"Asal kamu senang, nggak masalah."

Kamerawan: "Bagaimana dengan keselamatan kamera dan jantungku?!"

Aku sempat menangkap sosok Zena dan Mike yang melongo begitu melihat kami melintas di hadapan mereka. Haha masa bodoh. Aku sedang dilanda rasa senang tiada tara. Seolah ada seseorang yang menyuntikkan serum gembira ke dalam aliran darahku.

"Luke, berhenti di dekat bangku!"

Luke mengikuti kemauanku. Aku memilih berdiri di bangku dan memberikan cengiran manis kepada Luke.

Saat kami berhadapan, rasanya aku bisa meledak menjadi serpihan cahaya karena terlalu senang.

"Lihat, aku bertambah tinggi," kataku dengan nada bangga.

Bukan Target CintaWhere stories live. Discover now