42

23 3 5
                                    

Kami menghampiri Hansamu dalam posisi saling menindihnya. Homang yang berkepala bulat mengangkat kedua tangannya seolah ingin menyerang. Ya, mereka memang menyerang dengan mengeluarkan tumbuhan rambat dari rambut mereka yang berkobar bagai api dengan nyala berwarna hijau.

Mereka selalu pemarah dan bergerombolah memenuhi bukit. Mungkin jumlahnya puluhan atau ribuan. Di antara mereka, tidak jauh di belakang berdiri anggun seorang wanita berpakaian tenun merah. Warna merahnya seperti menyala-nyala dan hidup. Wajahnya merona manis, tetapi tatapan matanya sangat galak padaku.

"Kau kah itu? Dewi yang dibicarakan penyihir kecil." Dia menunjuk Hansamu dengan dagunya. Kemudian tertawa mengejek dengan gerakan anggun bak putri raja.

"Mulajadi Nabolon merestuiku," balasku seolah menambah minyak dalam kobaran api. "Anda tidak punya hak melarang kami mencari naga."

"Naga." Kalimat itu dia eja dengan sinis. "Naga Padoha maksudmu? Apa keluarga Debatamu tidak mengajarkan sopan santun? Sungguh ironis. Aku harus mengajarkanmu."

"Yang Terhormat. Aku tahu di mana Anda menyegel Naga Padoha."

Dia tertawa sopan dengan tatapan mata mencemooh.

"Aku tahu kau berbohong. Tapi sebagian kisah memiliki kebenaran yang disembunyikan. Aku masih memberimu kesempatan keluar dari tanah ini sekarang."

"Sayangnya, aku akan pergi menyelamatkan sahabatku, Naga Padoha. Pria yang kau tuduh secara sepihak menggangu Banua Tonga. Padahal dia hanya datang menagih janji atas perjodohanmu dengan Oda Poda, kakak laki-lakinya. Mengapa kau merengek pada Mulajadi Nabolon bahwa Naga Padoha mengusik Banua Tonga?"

Jantungku berdebar cepat. Aku melampiaskan kekesalan pada mitologi yang kubaca. Aku langsung membalikkan badan mengajak Hansamu dan Nias untuk pergi. Perlindungan sihir Sahala berakhir sia-sia. Kuabaikan pula wajah Deak Parujar yang memerah menahan amarah. Aku harus memancingnya.

"Kau hanya mendengar kisah itu dari sudut pandang orang lain." Suara Deak Parujar terdengar tenang dibalik punggungku. "Kau tidak ingin mendengar mitologi versi tersebut dariku?"

Aku menggeleng. Aku tidak boleh goyah. Tanpa sepengetahuan siapa pun, aku mengaktifkan energi bumi yang di wariskan ibu dari Ompuk Lanit. Ibu para Dewa Tanimbar adalah Ibu Bumi. Sihir itu sudah masuk ke dalam tanah batak membentuk benih tumbuhan.

Benih tumbuhan tidak akan membuat Deak Parujar curiga. Aku hanya menumbuhkannya dengan cara alami yang biasa. Kekuatan itu butuh banyak energi. Aku memanfaatkan ilmu biologi bahwa pohon-pohon di dalam hutan saling terkait satu sama lain berkat mikroorganisme.

Sebagian jiwaku berbaur sembari saling berbisik kisah-kisah lama dari akar-akar pohon. Mencari saksi cerita yang tidak terucap. Deak Parujar mungkin berkuasa atas segala hal yang hidup di atas tanahnya. Tetapi dunia bawah tanah bukan wilayahnya. Itu celah yang aku pikirkan di detik-detik terakhir.

Aku tidak sadar, ketika sihir Homang merenggutku dan menarikku mendekati Deak Parujar. Hansamu dan Nias disibukkan menghalau para Homang yang terus menggangu mereka tanpa mengenal lelah. Sebagian mulai memeluk kaki dan lengan mereka.

"Mulajadi Nabolon memberi izin untuk mencari naga biasa di tanah kami. Bukan membebaskan Naga Padoha."

Setiap kata yang Deak Parujar katakan penuh penekanan.

"Benar dan naga yang kuinginkan adalah Naga Padoha."

Pupil Deak Parujar melebar. Ikatan sulur ditubuhku makin menguat. Dia tahu-tahu melemparkanku ke udara yang tiba-tiba muncul cincin portal. Gelombang air bergerak cepat menyelamatkanku. Aku membungkus  tubuh dengan air. Aku tidak akan membiarkan Deak Parujar mengirimku pulang.

Aestival (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang