13

77 13 35
                                    

Pagi harinya, kami berkumpul di halaman depan rumah utama selepas sarapan pagi. Laskara menitipkan perbekalan kepada Bawang. Dia memberikan sebuah gulungan kepada Hansamu dan sebuah buku tua kepadaku. 

Semalam, aku mendapatkan penglihatan dalam mimpi. Aku melihat seorang remaja perempuan seusiaku, menarik tanganku dan mengajakku berkeliling desa. Wajahnya samar oleh cahaya terang.

Dia menunjukkan, bagaimana alam di gunung Persagi dijaga dan dilindungi. Melalui aura sihirnya, aku tahu. Dia adalah sosok Debata perempuan yang sangat dihormati hingga namanya digunakan untuk menyebut nama roh alam di Lampung.

Sang Dewi memperlihatkanku cara dia menumbuhkan sebuah tunas dengan embusan napasnya yang beraroma wangi, merawat sayap burung liar yang terluka dan menjaga Serimol agar tidak menggangu manusia. Untuk yang terakhir, itu agak mengejutkan. Dia tidak bertindak kasar. Justru membimbing makhluk jelek itu ke dalam hutan yang sulit dijamah para sudra.

Kami tidak pernah bercakap sepanjang perjalanan. Transisi dunia yang ia perlihatkan menjawab semuanya. Lalu, aku melihat seorang pemuda yang sedang melompat sambil memukul beberapa orang dengan tiba-tiba di tengah hutan. Lompatannya sangat tinggi, seolah dia sedang mengendarai angin.

Bila diperhatikan seksama. Rahangnya yang tegas mirip dengan wajah Laskara dan mata jenakanya mirip dengan mata Dewi Iriah. Bagaimana aku melihatnya? Entahlah.

Citra kembali berganti, memperlihatkan pemuda itu menggendong bayi yang dibedong. Lalu menunjukkannya ke seisi desa dengan senyum kebahagian.

Mimpi itu berhenti di sana. Hal selanjutnya, aku tidak yakin. Terlalu cepat untuk dilihat. Pria itu pergi ke dunia atas. Menurunkan segala tanggungjawab kepada Laskara sebagai penerus.

Pemuda itu, entah berapa umurnya. Dia sudah mengemban tugas tersebut begitu lama. Laskara terlihat sering menghabiskan suatu waktu bersama Ibunya. Tetapi itu tidak setiap hari.

Hari-hari lainnya, ia tampak sendirian mengurus seluruh alam di gunung Persagi. Lalu, munculah Bawang.

Laskara memang sering berpakaian seperti ninja jika keluar dari desa. Memastikan alam di sekitarnya tumbuh dengan semestinya. Laskara seolah tertahan di sini. Sekalipun ia bisa keluar dari Lampung. Waktunya hanya sebentar.

"Buku itu akan membantumu," kata Laskara, "kau bisa membacanya di tengah perjalanan. Jangan di sini."

"Terima kasih," jawabku.

Buku itu tidak memiliki gambar atau judul sebagai sampul. Aku memasukkannya ke dalam tas. Setelah semua siap, dedaunan kembali menyelimuti tubuh kami bertiga. Aku melambai pada Laskara yang mengganguk. Kami mungkin tidak akan bertemu lagi. Namun, aku berharap. Ini bukan pertemuan terakhir kami.

Saat dedaunan meluruh. Kami sudah berada di tepi sungai. Bawang sibuk melepaskan tali yang tertambat pada sebuah perahu kayu yang badannya penuh goresan dan tusukan. Di dalamnya, terdapat beberapa buntalan dalam kain abu-abu. 

Aku tidak berkomentar banyak tentang perahu tersebut. Setelah semuanya siap, aku mengikuti Hansamu naik di ke dalamnya. Aku duduk di tengah-tengah, Hansamu di belakang dan Bawang di depan. 

Perahu ini tidak memiliki dayung. Tetapi ia dapat bergerak sendiri mengikuti arus. Keheningan pagi ini di isi dengan suara aliran air dan suara serangga di kanan kiri sungai.

Kami bertiga membisu. Aku sendiri terlalu malas berbicara dengan Bawang. Hansamu duduk di belakang. Sulit mengajaknya bicara tanpa berbalik. Bawang pasti tidak suka, jika aku bergerak terlalu sering di perahunya.

Sungai ini tidak sepenuhnya keruh atau jernih. Kadang-kadang, aku bisa melihat ikan berenang di samping kami. Lalu berubah keruh dan tidak ada apa pun yang terlihat.

Aestival (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang